BANDUNG, KOMPAS--Revisi Peraturan Menteri Pertanian yang mengatur kewajiban bermitra meningkatkan ketidakpastian peternak sapi perah rakyat dalam menjalankan usaha. Peternak rakyat memerlukan kebijakan yang melindungi mereka dari persaingan.
Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2017 menyebutkan, industri pengolahan susu wajib bermitra dengan peternak sapi perah rakyat. Pada Juli lalu, aturan itu direvisi menjadi Permentan Nomor 30 Tahun 2018, yang menghapus kewajiban bermitra. Akibatnya, ketidakpastian berusaha peternak meningkat.
"Kami memaklumi revisi peraturan itu. Meskipun demikian, sebenarnya Permentan 26/2017 telah menjadi angin segar bagi peternak," kata Ketua Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan Aun Gunawan yang ditemui di Pangalengan, Jawa Barat, Senin (10/12/2018).
Kini, peternak sapi perah rakyat merasa tidak terlindung payung hukum dalam berusaha. Salah satu hal yang dikhawatirkan, ujar Aun, adalah keberadaan peternakan sapi perah skala besar milik industri nonsusu.
Menurut Aun, peternakan skala industri tersebut jauh lebih efektif dan efisien. Konsistensi kualitas dan kuantitas produksi susunya juga lebih pasti karena pasokan dan gizi pakannya terjamin. Jumlah indukan sapi perah turut diperhitungkan secara cermat.
Di sisi lain, tambah Aun, peternak rakyat sulit mencari pakan. Idealnya, pakan untuk sapi perah berupa rumput dengan substitusi konsentrat berbahan baku ampas gandum dan bungkil kelapa atau kopra. Akibatnya, dari segi bisnis, kemitraan dengan peternakan skala industri dapat lebih menguntungkan bagi industri pengolahan susu.
Aun berpendapat, peternak rakyat memerlukan kebijakan hukum yang melindungi usaha.
Ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Boediyana juga melihat potensi penurunan porsi peternakan sapi rakyat akibat peternakan skala industri dalam pasar penyerapan susu.
"Ada potensi cukup besar terhadap pembangunan peternakan skala industri dalam negeri yang dilirik pemain sektor nonsusu," ujarnya saat dihubungi.
Potensi itu terlihat dari harga susu setara susu segar saat ini yang sekitar Rp 6.000 per ton, sedangkan harga susu segar dalam negeri kurang dari itu. Konsumsi susu nasional diprediksi terus tumbuh hingga mencapai 6 juta ton pada 2020.
Untuk memberikan payung hukum yang menjamin keberlangsungan usaha peternak sapi perah rakyat, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Fini Murfiani mengatakan, pihaknya tengah menyusun naskah akademik.
Hingga saat ini, tambah Fini, ada 128 pelaku usaha industri pengolahan susu yang bermitra dengan peternakan sapi perah rakyat. Sebanyak 98 pelaku di antaranya adalah importir. Total nilai investasi kemitraan ini berkisar Rp 751,7 miliar.
Stagnansi populasi
Aspek populasi yang pertumbuhannya stagnan juga disoroti Aun. Saat ini, populasi sapi di KPBS Pangalengan berkisar 13.000 ekor. Sebanyak 7.000 ekor di antaranya tergolong produktif dalam menghasilkan susu.
Salah satu penyebab stagnasi tersebut adalah penjualan anak sapi atau pedet betina yang dilahirkan indukan milik peternak. "Untuk membesarkan sapi pedet hingga dapat produktif menghasilkan susu dibutuhkan Rp 20 juta dalam dua tahun. Sementara, harga jual sapi pedet betina sekitar Rp 3 juta-Rp 4 juta per ekor," ujar Aun.
Oleh sebab itu, Teguh menilai, perlu intervensi pemerintah dalam mengedukasi peternak serta subsidi untuk mengembangbiakkan sapi pedet betina. Selain itu, impor sapi betina untuk meningkatkan populasi juga dibutuhkan. (JUD)