Selama bertahun-tahun, Andika Putra Pamungkas (20) galau dan pesimistis dengan dirinya sendiri. Tingkat kecerdasan yang di bawah rata-rata dan nihil keterampilan, membuatnya putus asa karena merasa tidak mampu melakukan apa-apa. Namun, semua kegamangan tersebut berubah ketika dia mulai berlatih menjadi barista.
Empat kali pelatihan pada akhirnya cukup membuktikan bahwa kopi bisa mengubah segalanya. Saat ditemui pada Kamis (22/11/2018), Andika, yang menjadi salah satu penghuni Balai Besar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual (BBRSPDI) Kartini, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, tampak ceria dan percaya diri. Sembari sibuk meracik dan memperagakan cara menyesap kopi dengan benar kepada para guru dan pembimbing, bibirnya tak henti menyunggingkan senyum.
Tak lagi tampak galau, dia memastikan bahwa apa yang dipelajarinya saat ini adalah bekal untuk masa depan. ” Setelah ini, saya ingin membuka kafe dan meracik kopi untuk pelanggan,” ujarnya mantap. Membuka kafe direncanakan akan dilakukannya setelah dia dinyatakan lulus dari BBRSPDI.
Cerita optimistis ini berhasil diukir Andika setelah melalui berbagai tahapan sedih dan gundah. Saat menjalani tes IQ di SD, Andika hanya memiliki angka kecerdasan 91 dan saat dites di BBRSPDI angka kecerdasan 81.
Saat menempuh jenjang pendidikan SD, dia tidak naik kelas dan mencoba mengubah nasib dengan pindah sekolah. Namun, kondisi tidak berubah karena dianggap tidak mampu. Setelah tiga kali tidak naik kelas, Andika akhirnya memilih menyudahi pendidikan hanya di kelas V SD.
Sempat menganggur selama beberapa bulan di rumah, dia bekerja di usaha minuman ringan. Karena berkonflik dengan rekan dan tidak puas karena lebih sering disuruh belanja ini itu, dia pun pindah kerja ke warung nasi goreng. Di warung itu pun dia tak bisa menunjukkan keterampilan apa-apa karena hanya menjadi tenaga cuci piring dan bersih-bersih.
Dua tahun lalu, dia akhirnya bergabung dengan BBRSPDI. Ketika akhirnya ditawari untuk mengikuti program keterampilan, Andika yang suka memasak, mantap memilih boga. Namun, belakangan, dia sedih karena semua masakannya dinilai kurang enak.
Menemukan kekuatan
Andika lalu memilih program menjahit. Sekalipun akhirnya terampil menjahit, dia mengaku tetap tidak ingin jadi penjahit. Belakangan, dia bersemangat menawarkan diri mengikuti program pelatihan barista karena merasa melalui dunia kopi inilah dia bisa bersentuhan dengan kuliner, dunia boga yang disukainya. Namun, ternyata lebih jauh dari itu, dia justru menjadi pencinta kopi.
”Dari sebelumnya terbilang sama sekali tidak terlalu suka ngopi, sekarang ini saya justru jadi pencinta dan penikmat kopi,” ujarnya.
Kegembiraan yang sama dari meracik kopi juga dirasakan Benibdrian Sutrisno Pamungkas (20). Setelah mengikuti program keterampilan pertukangan, dia iseng mencoba mengikuti pelatihan barista.
Dia pun bersuka cita karena dipuji seorang instruktur dirinya bisa meracik kopi dengan benar. ”Akhirnya, saya bisa membuktikan pada diri sendiri dan orang banyak bahwa penyandang disabilitas intelektual juga bisa memiliki beragam keterampilan dan melakukan sesuatu dengan benar,” ujarnya.
Sejak kecil, Benibdrian, yang akrab disapa Beni, menempuh pendidikan luar biasa, mulai dari SDLB hingga SMALB. Sama seperti Andika, Beni merasa putus asa karena dirinya beberapa kali tidak naik kelas. Kini, sekalipun belum berniat membuka kafe, dia mengaku sangat senang karena kini telah mampu bertukang, membuat lemari, dan kursi, serta mampu meracik aneka kopi.
Program pelatihan barista ini dilakukan atas kerja sama BBRSPDI dengan komunitas Java Temanggung Coffe (JTC) dari Unit Pengolahan Hasil (UPH) Rumah Kopi Gesing di Desa Gesing, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung.
Rio Ricardo Sitanggang dari JTC mengatakan, program pelatihan barista ini adalah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari UPH Rumah Kopi Gesing. Program yang digelar secara gratis tersebut bertujuan membantu meningkatkan rasa percaya diri para penyandang disabilitas intelektual.
”Jika sebelumnya dianggap sebagai aib dan sering disembunyikan di belakang, inilah saatnya mereka tampil di depan dengan keahlian meracik kopi,” ujarnya.
Untuk program pelatihan barista ini, Rio membentuk tim khusus pengajar beranggotakan empat barista. Saat pelatihan pada Kamis (22/11), diikuti tujuh penyandang disabilitas. Jumlah tersebut bisa terus bertambah karena terus menerima peserta baru. ”Mengajari para penyandang disabilitas intelektual, pengajar harus benar-benar sabar,” jelasnya.
Menurut dia, salah satu kelemahan para penyandang disabilitas intelektual adalah sulit menghafal sesuatu. Tidak heran di pertemuan keempat Kamis pekan lalu, para pengajar masih harus mengulang apa yang telah diajari di pertemuan pertama.
Kepala BBRSPDI Kartini Temanggung Murhardjani, mengatakan, program pelatihan barista ini baru pertama kali dilaksanakan di Temanggung, di Indonesia, atau bahkan mungkin di dunia. ”Pengalaman ini jadi lebih menarik karena peserta akhirnya menemukan keunggulannya,” ujarnya. (EGI)