JAKARTA, KOMPAS - Industri layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi berkontribusi sekitar Rp 25,97 triliun terhadap produk domestik bruto. Kontribusi tersebut dua kali lipat lebih besar dibanding volume bisnis yang dimiliki industri, yakni sekitar Rp 11 triliun.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) Adrian A Gunadi mengatakan, pencapaian itu adalah hasil studi terbaru Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) bekerja sama dengan AFPI.
"Industri layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi baru tumbuh dan beroperasi dua tahun. Sebanyak 73 perusahaan terdaftar dan berizin di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hasil kontribusi itu harus dilihat bahwa kami turut membantu perekonomian, terutama akses pendanaan," ujar dia saat menghadiri diskusi Pencapaian FinTech P2P Lending di 2018 dan Tantangan di 2019, Rabu (12/12/2018), di Jakarta.
Menurut dia, kehadiran penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi mengatasi kesulitan kredit bagi pelaku usaha sektor kreatif dan jasa. Sebagai contoh, agensi periklanan, film, dan perusahaan jasa tenaga kerja alih daya. Mereka biasanya tidak memiliki jaminan yang dipersyaratkan oleh perbankan.
Adrian mengakui, sepanjang 2018 terjadi kasus penagihan kredit tidak beretika dari beberapa pemain. Ada pula kasus maraknya perusahaan China masuk ke Indonesia, lalu menawarkan layanan pinjam-meminjam uang secara ilegal.
"Jangan sampai kasus-kasus itu mengaburkan dampak positif yang telah dibuat oleh pemain yang serius membantu inklusi keuangan Indonesia," kata dia.
Adrian menceritakan, AFPI mempunyai pusat data yang berfungsi menerima serta mengklarifikasi keluhan layanan dari konsumen. Sebagai pusat data, AFPI meminta seluruh perusahaan terdaftar dan berizin menyetor data pencapaian kinerja.
"Sebagai perusahaan teknologi, kami rasa semua pencatatan terekam lebih sistematis dan terawasi. Misalnya, informasi nasabah mana yang rajin dan telat membayar," tutur dia.