Sistem Pengadaan Barang Secara Elektronik Kurang Diminati
Oleh
Caecilia Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik belum masif diterapkan, baik oleh swasta maupun instansi pemerintah. Padahal, keberadaan sistem ini menunjang transparansi dan efisiensi kinerja.
Chief Operational Officer Mbiz.co.id (Mbiz) Ryn Hermawan, Kamis (13/12/2018), di Jakarta, mengatakan, usaha layanan pendukung perdagangan secara elektronik atau e-dagang belum banyak berkembang di Indonesia. Sementara di luar negeri, misalnya China dan Korea Selatan, usaha seperti itu telah tumbuh pesat.
"Dulu, pemilik merek barang tertentu memasang iklan sendiri. Akan tetapi, sekarang, penyedia platform toko daring beriklan dengan menyertakan promo barang-barang tertentu. Di sinilah kami melihat ada potensi bisnis," ujar dia.
Mbiz merupakan perusahaan pendukung layanan e-dagang yang produk utamanya adalah solusi teknologi penggerak sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik atau e-procurement. Selain itu, Mbiz juga menyediakan jasa menghubungkan pembeli dengan vendor barang atau jasa. Model bisnis Mbiz yaitu bisnis ke bisnis (B2B).
Ryn menceritakan, Mbiz baru beroperasi selama dua tahun. Lebih dari 350 perusahaan skala besar menjadi pembeli solusi Mbiz. Sebagian besar pembeli berlatar belakang perusahaan multinasional dan perusahaan terbuka.
Selama dua tahun, Mbiz membukukan total nilai transaksi lebih dari Rp 2 triliun. CEO Mbiz Rizal Paramata menganggap nilai itu masih kecil dibanding besarnya biaya belanja modal ataupun belanja operasional korporat pada umumnya.
"Untuk perusahaan terbuka (Tbk), nilai belanja modal ataupun operasional bisa mencapai belasan sampai puluhan triliun. Permasalahannya, belum semua manajemen mereka satu suara untuk efisiensi dalam pengadaan barang. Kami yakin, seiring tren transformasi digital, peluang bisnis solusi e-procurement seperti Mbiz akan tumbuh lebih pesat," kata dia.
Sementara itu, Dewan Pembina Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI) Agus Prabowo mengatakan, konsep pengadaan barang dan jasa secara elektronik terdiri dua tindakan. Pertama, tender secara elektronik atau e-tendering melalui aplikasi SPSE4.2. Kedua, belanja lansung secara daring tanpa kegiatan tender atau biasa disebut e-purchasing memakai aplikasi e-katalog. Realitasnya, warga masih belum memahami dua tindakan itu.
Di tingkat pemerintahan daerah, dia menilai, e-procurement seringkali dijadikan ukuran seberapa reformisnya kepala daerah. Kenyataan yang bahkan jamak terjadi adalah e-procurement menjadi bahan pencitraan politis.
"E-procurement tidak serta merta menghasilkan transparansi pengadaan barang. Urusan tender, misalnya. Walaupun sudah ada sistem aplikasi e-tendering, kami mengamati tetap saja masih ada celah penyalahgunaan kekuasaan," kata Agus.
Contoh penyalahgunaan kekuasaan yaitu kepala daerah mengintervensi kelompok kerja unit layanan pengadaan barang dan jasa agar memenangkan kontraktor tertentu.
Pelaksana Tugas Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Sarah Sadiqa yang dikonfirmasi, mengatakan, e-procurement telah diadopsi oleh instansi pemerintahan daerah sejak tahun 2008. Hanya saja, pemakaian e-procurement tidak selalu mencapai 100 persen dari total belanja setiap tahun. Sebagai gambaran, pada tahun 2018, rata-rata pemerintah daerah memakai 40-50 persen.
Faktor penyebabnya bermacam-macam. Salah satunya kata dia adalah, nilai paket pekerjaan sering dianggap kecil sehingga pemerintah daerah memilih menunjuk langsung kontraktor yang diinginkan.
"Beberapa jenis paket pekerjaan pun kini bisa ditemui melalui e-katalog," tutur Sarah.