Belum Semua Peralatan Listrik Rumah Tangga Standar
Oleh
M KURNIAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum semua produk kelistrikan rumah tangga mengantongi sertifikat Standar Nasional Indonesia wajib. Padahal, sertifikasi produk penting guna memastikan kelayakan sebuah produk untuk dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat.
Kepala Biro Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Standardisasi Nasional (BSN) Iryana Margahayu, saat ditemui di Jakarta, Jumat (14/12/2018), mengatakan, masih banyak perusahaan pemroduksi barang kelistrikan rumah tangga yang belum menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib.
Produk kelistrikan yang wajib memiliki SNI antara lain kipas angin, setrika, kompor, dan regulator. Sementara produk kelistrikan rumah tangga lain seperti dispenser, mikser, penanak dan pemanas nasi, serta blender baru sebatas SNI sukarela.
”Karena beberapa SNI masih bersifat sukarela, belum semua pengusaha mau menerapkan SNI. Kalau SNI wajib, mau tidak mau semua perusahaan harus menerapkan,” ujar Iryana.
Ia menambahkan, SNI sukarela tidak bersifat mengikat. Pengusaha boleh menerapkan, tetapi tidak mendapat sanksi apa pun apabila tidak menerapkannya. Pengusaha yang tak mau repot pada akhirnya memilih untuk tidak menerapkan SNI sukarela.
Ongkos sertifikasi
Tak hanya itu, paradigma pengusaha terkait ongkos sertifikasi yang mahal dan proses pengurusan sertifikasi yang memakan waktu lama juga menjadi kendala. Untuk mengatasi hal itu, menurut Iryana, BSN sudah mengedukasi dan menyosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya memakai produk SNI. Sosialisasi dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Selain sosialisasi, BSN juga mendampingi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk mengurus pendaftaran sertifikat SNI. Sejak tahun 2015, sudah ada 38 UMKM yang berhasil mendapatkan sertifikat SNI.
Hingga tahun 2018, Kementerian Perindustrian telah memberlakukan 105 SNI wajib pada sektor industri manufaktur yang meliputi makanan, minuman, tekstil dan aneka, logam, kimia dasar, kimia hilir, otomotif, serta elektronika.
BSN hingga akhir 2017 mencatat, dari 9.795 SNI industri/organisasi yang masih berlaku, sebanyak 9.589 SNI diterapkan secara sukarela dan 206 sisanya diberlakukan secara wajib oleh instansi teknis.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, tidak ada alasan bagi perusahaan besar untuk tidak menerapkan SNI sukarela pada produk-produknya. Biaya sertifikasi SNI yang sering kali dianggap memberatkan pengusaha, menurut dia, tidak seberapa jika dibandingkan dengan hasil penjualan produk perusahaan.
Tulus mendesak pemerintah untuk membuat SNI wajib bagi produk kelistrikan rumah tangga yang masih bersifat SNI sukarela. Sebab, ia menyebutkan, pengaduan terkait kualitas rendah penanak dan pemanas nasi kepada YLKI tak pernah sepi.
”SNI wajib bagi produk kelistrikan rumah tangga sangat penting untuk memberikan proteksi dan jaminan kualitas produk bagi konsumen,” ucap Tulus.
Pemberlakuan SNI wajib, lanjutnya, juga akan membuat daya listrik produk kelistrikan rumah tangga menjadi lebih hemat. Hal itu karena SNI didesain untuk membuat daya listrik produk menjadi sehemat mungkin.
Kesadaran masih rendah
Salah satu perusahaan penerap SNI wajib dan sukarela, Miyako, tidak memperoleh kenaikan penjualan yang signifikan meskipun sudah 98 persen menerapkan SNI pada produknya. Quality Assurance Manager Miyako Teguh Kusrisyanto menjelaskan, hal itu karena kesadaran masyarakat untuk membeli barang-barang SNI masih rendah.
”Di pasar, belum semua orang sadar akan pentingnya SNI pada produk kelistrikan rumah tangga. Mereka cenderung memilih untuk membeli produk sejenis yang lebih murah,” kata Teguh.
Alasan Miyako menerapkan SNI wajib dan sukarela pada produknya adalah karena ingin memberikan barang-barang berkualitas bagi masyarakat. Di samping itu, sertifikat SNI bisa membuat Miyako menembus pasar ekspor. Saat ini, produk-produk ber-SNI milik Miyako sudah diekspor ke Sri Lanka, Vietnam, dan Bangladesh.
Teguh menjelaskan, bagi sebagian masyarakat yang sudah terliterasi, membeli produk ber-SNI adalah keharusan. Oleh karena itu, Miyako tidak takut kehilangan pasar.
Tulus setuju, membeli produk ber-SNI belum menjadi budaya di masyarakat. ”Kalau sudah begini, harapannya pemerintah bisa mengintervensi dengan cara mewajibkan SNI,” ucap Tulus. (KRISTI DWI UTAMI)