Kultur kerja perusahaan teknologi telah mengubah kultur kerja secara umum. Mereka menciptakan berbagai inovasi dan mengadopsi ide-ide baru yang membuat perusahaan mapan perlu belajar dari perusahaan rintisan. Salah satunya, sejak beberapa tahun yang lalu ada inisiasi mengembalikan karir seseorang ke pekerjaan semula dan mereka kini mengadopsinya. Mereka, terutama perempuan, yang karena sejumlah alasan harus meninggalkan karir, bisa kembali ke perusahaan semula setelah mengikuti masa magang untuk mengejar ketertinggalan dari rekan-rekannya.
Sekian lama orang-orang mengalami frustrasi karena harus memilih keluar dari pekerjaan dengan berbagai alasan, seperti mengurus keluarga, mengurus orang tua, ikut dalam wajib militer, atau meninggalkan karir karena ingin mengerjakan sesuatu urusan. Namun, mereka sulit kembali ke karir lama.
Perusahaan pasti memiliki berbagai alasan untuk tidak menerima mereka kembali. Mereka harus memulai kembali dan jatuh bangun mencari pekerjaan dari nol. Ada yang beruntung, namun ada yang tak bisa lagi mendapatkan pekerjaan.
Upaya menarik kembali mereka ke dunia kerja sudah lama. Salah satunya inisiatif mengembalikan orang ke karir yang dikembangkan bukan oleh perusahaan rintisan, tetapi oleh Credit Suisse pada 2014 di London, Inggris. Saat itu, sejumlah perempuan yang sempat memilih keluar dari pekerjaan mengikuti program magang selama 10 minggu sebelum ditawari kembali bekerja di tempat semula. Inisiatif ini dilakukan karena berdasarkan survei sekitar 70 persen perempuan tak berani “cuti” panjang. Sebab, ketika mereka kembali, tak lagi memiliki kepercayaan diri untuk kembali bekerja. Jika bisa kembali ke dunia kerja dan mendapatkan pekerjaan, biasanya digaji sangat rendah.
Belakangan, program ini dikembangkan perusahaan rintisan teknologi. Alasannya sangat sederhana, perusahaan teknologi membutuhkan talenta-talenta yang unggul sehingga memilih untuk menarik kembali mereka setelah beberapa tahun meninggalkan tempat kerja. Perusahaan merasakan kesulitan mendapatkan talenta-talenta.
Di Silicon Valley, perusahaan sulit mendapatkan karyawan dengan pengalaman 5-6 tahun. Oleh karena itu, mereka memilih menarik kembali karyawan yang keluar dengan membekali keterampilan sehingga mereka bisa mengejar ketertinggalan dibanding rekan-rekan mereka.
Dengan bekal dasar yang ada, maka mereka dengan mudah dididik ulang mengenai komputasi kuantum, sains data, dan kecerdasan buatan. Pendidikan ulang itu perlu dilakukan karena teknologi berkembang sangat cepat. Mereka perlu mendapat pembaruan. Koran Financial Times menyebutkan, motivasi dasar mereka untuk kembali ke karir semula ternyata tidak hanya melulu uang, tetapi karena mereka ternyata merindukan pekerjaan itu kembali. Beberapa perusahaan yang melakukan uji coba kini akan memperluas program ini ke berbagai negara karena ternyata mereka tak perlu lagi repot mencari talenta yang mahal. Selain itu, lingkungan kerjanya secara positif menerima mereka kembali.
Di sisi lain, dengan program itu, perusahaan juga bisa mengembangkan keberagaman di lingkungan kerja. Isu keberagaman merupakan isu yang tergolong prioritas di dalam perusahaan teknologi karena belakangan muncul beberapa kasus. Di sisi lain, mereka meyakini talenta yang memiliki asal-usul berbeda memberi keuntungan pada perusahaan karena memberi ide-ide yang berbeda. Program itu juga memperbaiki citra perusahaan yang sering kena stigma karena tidak mau menerima karyawan yang meninggalkan perusahaan sekian lama.
Kini program kembali ke karir lama telah menjadi tren. Beberapa lembaga nirlaba telah memfasilitasi program ini antara perusahaan dengan mereka yang akan kembali ke tempat kerja semula. Mereka mengadakan seminar dan kursus tentang persiapan untuk mengikuti program itu dan membuka informasi perusahaan-perusahaan yang mempunyai program tersebut. Salah satu perusahaan yang mengembangkan ini mengatakan, mereka yang mau kembali sebenarnya adalah karyawan yang sangat loyal. (ANDREAS MARYOTO)