Pekerja Rumahan Berkembang Tanpa Pengakuan Negara
JAKARTA, KOMPAS - Pekerja rumahan berkembang di berbagai daerah penyokong industri nasional. Keberadaan mereka masih dianggap pekerja sampingan sehingga tidak memperoleh kesejahteraan layak.
Definisi pekerja rumahan merujuk pada individu yang terlibat membantu proses produksi sebuah industri. Pekerja rumahan bukanlah mereka yang bekerja mandiri, melainkan pekerja yang terikat dengan hubungan kerja dengan pihak lain dengan kontrak perjanjian tertentu. Kontrak biasanya disampaikan lisan berisi pengerjaan pekerjaan untuk memberikan nilai tambah terhadap komoditas komersial.
"Pekerjaan rumahan tengah menjadi tren di dunia. Suasana perang dagang menyebabkan sejumlah perusahaan memikirkan cara mengurangi biaya produksi dan efisiensi. Salah satu opsi yang diambil adalah menyerahkan sebagian pekerjaan produksi ke kelompok pekerja rumahan," ujar Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre (TURC) Andriko Otang di sela-sela Festival Pekerja Rumahan, Jumat (14/12/2018), di Gedung Kerta Niaga, Kompleks Kota Tua Jakarta.
Dia menjelaskan, biasanya, pemilik merek produk menyuruh manajer produksi membawa sebagian pekerjaan untuk dikerjaan di luar pabrik. Manajer ini dapat melakukannya sendiri dengan mencari kelompok pekerja rumahan atau mengandalkan jasa agen perantara. Jumlah perantara bisa lebih dari satu.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh MAMPU bersama empat orang mitranya, jumlah pekerja rumahan di Indonesia sekarang berkisar antara 4.000 - 5.000 orang. Mereka tersebar di 24 kabupaten/kota di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bali. Para pekerja rumahan tersebut \'mendukung\' rantai pasok industri berorientasi ekspor dan kerajinan untuk kebutuhan dalam negeri.
Dari sisi profil, sekitar 80 persen dari total pekerja rumahan adalah perempuan berusia di atas 30 tahun dan sudah menikah. Sisanya adalah pekerja laki-laki, berperan sebagai suami, dan sekaligus agen.
MAMPU adalah program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Sejak sekitar lima tahun lalu, MAMPU terjun ke isu pekerja rumahan. Empat mitra yaitu Trade Union Rights Centre (TURC), Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI), Bitra Indonesia, dan Yayasan Annisa Swasti.
"Pekerja rumahan sekarang belum diakui oleh negara. Pekerja rumahan masih dianggap pekerja sampingan yang tidak memiliki nilai ekonomis, padahal mereka membantu rantai pasok komoditas komersial. Pekerja biasanya mengusahakan sendiri alat produksi," kata dia.
Menurut dia, TURC telah menyarankan kepada pemerintah Indonesia perlunya perlindungan hukum khusus bagi pekerja rumahan. Saran diserahkan dalam bentuk draft rekomendasi peraturan.
"Kami mendorong perlunya pembentukan badan hukum ke agen perantara terdekat dengan pekerja. Ini akan lebih memudahkan upaya perlindungan serta penindakan hukum ketenagakerjaan," tambah Andriko.
Pengakuan negara
Ketiadaan pengakuan membuat pemerintah tidak melakukan sensus jumlah pekerja rumahan. Upah pekerja rumahan pun biasanya di bawah standar upah minimum.
Pekerja rumahan sekaligus anggota Kelompok Mitra Bersama Pekerja Rumahan Solo, Ani Marista, menceritakan dirinya telah menjadi pekerja rumahan sejak tahun 2013. Bidang pekerjaannya adalah penjahit pakaian dalam. Dia dibayar Rp 400 per satu lusin pakaian dalam.
Sebelum menjadi pekerja rumahan, dia bekerja di salah satu pabrik garmen di Surakarta. Perusahaan memintanya mengundurkan diri ketika dia hamil.
Setiap hari, Ani bekerja mulai pukul 06.00 sampai 21.00. Dalam seminggu, dia biasanya menerima target 350 lusin pakaian dalam. Apabila dia tidak berhasil memenuhinya, dia tidak mendapat sanksi.
"Kerja semampu saya. Pesanan pekerjaan saya peroleh dari seorang teman yang menjadi agen dari pabrik garmen yang namanya pun saya tidak tahu. Intinya, saya cuma terima pesanan dan target sekian lusin per minggu," ujar dia yang ditemui Kompas di lokasi Festival Pekerja Rumahan.
Ani mengungkapkan, kenaikan nilai pembayaran terjadi setiap dua tahun sekali. Itupun hanya sebesar Rp 50 per satu lusin.
Dia bersama sekitar 60 orang pekerja rumahan lain rutin berserikat di Kelompok Mitra Bersama Pekerja Rumahan Solo. Anggota kelompok juga rajin bertemu dengan pemerintah daerah untuk memperjuangkan nasib mereka.
Praktisi hukum hubungan industrial, Juanda Pangaribuan menyebut sudah ada beberapa pemerintah daerah mau menyusun peraturan daerah melindungi hak pekerja rumahan. Misalnya, Kabupaten Karanganyar dan Provinsi Sumatera Utara. Dia menilainya positif.
Dia berharap pemerintah pusat juga memiliki keprihatinan yang sama. Permasalahan kerja layak pekerja rumahan sudah semestinya menjadi isu nasional.
"Ketika pekerja pabrik lembur, mereka menerima upah tambahan. Sementara pekerja rumahan bekerja tanpa batas waktu dan tidak mendapat bayaran setimpal. Pekerja rumahan perempuan pun kerap dicap rendah, seperti pekerjaan mencegah mereka dari kebiasaan merumpi," kata Juanda.
Peraturan perlindungan
Kepala Bagian Penelaahan Hukum dan Konvensi Internasional Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Umar Kasim membenarkan bahwa Indonesia belum mempunyai peraturan yang spesifik terkait pekerja rumahan. Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pun hanya menyebut pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. Penekanan di luar hubungan kerja bisa dimaknai sebagai pekerjaan yang dilakoni oleh pekerja rumahan.
"Kami menyadari, tren perekonomian secara global melahirkan model-model baru hubungan kerja, seperti kemitraan, keagenan, dan sistem plasma. Semuanya itu dapat dikatakan \'di luar hubungan kerja\'," ujar dia.
Dia mengakui UU Nomor 13 Tahun 2003 cenderung menonjolkan karakteristik hubungan industrial di sektor konvensional, seperti manufaktur. Kemnaker sekarang mengupayakan keberpihakan terhadap model hubungan industrial baru misalnya, merilis peraturan setingkat menteri.
"Pada masa depan, kami ingin menjadikan UU Ketenagakerjaan sebagai regulasi pokok. Kemudian, kami mengembangkan UU atau peraturan di bawahnya untuk mengakomodasi isu lebih spesifik," tutur Umar.