MATARAM, KOMPAS — Perajin tenun tradisional di Lombok, Nusa Tenggara Barat, memerlukan bantuan berupa alat tenun bukan mesin sebagai tambahan alat tenun gedogan yang selama ini mereka geluti. Hal itu untuk memberikan alternatif produk dengan harga jual terjangkau kepada konsumen.
”Tenun gedogan dan alat tenun bukan mesin (ATBM) memiliki pangsa tersendiri. Jadi, keduanya dapat sama-sama berjalan, tinggal nanti konsumen yang memilih,” ujar Kepala Dinas Perdagangan NTB Putu Selly Handayani di Mataram, NTB, Selasa (18/1/2018).
Selly menghadiri acara pencanangan kain tenun NTB sebagai seragam karyawan organisasi perangkat daerah (OPD) NTB. Pencanangan itu antara lain dimaksudkan untuk membantu perajin setelah gempa Lombok beberapa waktu lalu yang membuat pasar tenun lesu.
Kain tenun sebagai busana kerja bagi aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi NTB dikenakan tiap Selasa dan Kamis. Hal itu selanjutnya akan diikuti pula oleh karyawan BUMN di NTB.
Sebelumnya, Gubernur NTB Zulkieflimansyah mengingatkan, pencanangan tenun sebagai seragam itu perlu diikuti kesiapan produksi para perajin. Artinya, tenun harus diproduksi massal. Padahal, bahan bakunya, seperti benang, bergantung pada industri besar.
Apabila industri besar membawa mesin ke NTB, produksi tenun akan membeludak dan harga kain menjadi murah. ”Kalau tidak hati-hati, pencanangan ini justru dapat ’membunuh’ para perajin,” ujar gubernur.
Namun, Selly Handayani dan Kepala Dinas Perindustrian NTB Baiq Eva Nurcahyaningsih optimistis tenun gedogan dan ATBM bisa bersanding. Keduanya memiliki keunggulan dan karakter masing-masing.
Tenun gedogan dinilai kuat dalam aspek seninya. Permukaannya lebih kasar dan tebal karena dibuat manual oleh tangan manusia, tapi waktu pengerjaannya relatif lama, yakni satu lembar sebulan.
Adapun kain tenun ATBM menggunakan rangka kayu yang digerakkan oleh tenaga manusia. Permukaan kain lebih halus dan pengerjaan lebih singkat, yakni dalam hitungan hari. Harga jualnya pun lebih murah ketimbang tenun gedogan. Tenun ATBM dianjurkan sebagai busana kerja ASN di NTB.
”Satu OPD bisa membeli selembar kain tenun, uangnya urunan beberapa orang. Selembar kain itu lalu dipotong untuk dimodifikasi dengan kain polos untuk dijadikan baju,” ujar Nurcahyaningsih.
Humaerok, perajin tenun gedogan di Desa Kembang Kerang, Kabupaten Lombok Timur, mengatakan memerlukan ATBM sebagai diversifikasi sumber penghasilan. ”Kalau hasil menjual tenun gedogan untuk kebutuhan jangka panjang, sedangkan hasil tenunan pakai ATBM untuk kebutuhan sehari-hari karena pengerjaannya lebih singkat dan bisa segera dijual,” katanya.
Namun, produk tenun ATBM kini juga mendapat ”gangguan” dari produk lain. Sukawati, perajin di Dusun Gumantar, mengatakan, kini banyak beredar tenun printing (cetak) yang mengambil motif khas NTB dan dijual lebih murah.
”Banyak pembeli datang menanyakan asli atau tidaknya kain tenun yang dibelinya di tempat lain. Kalau begini terus, sama halnya mematikan usaha kami dan merusak citra kain tenun Lombok,” ujar Sukawati.
Di Dusun Gumantar terdapat 15 ATBM milik 15 perajin dengan produksi sebanyak 15 lembar kain ukuran 2,5 meter per hari. Motif rangrang, motif gerimis, dan motif kombinasi rangrang dan gerimis adalah produk yang disukai pembeli dengan harga Rp 180.000-Rp 320.000 per lembar.