JAKARTA, KOMPAS — Dalam lima tahun terakhir, kontribusi sektor properti terhadap pertumbuhan ekonomi relatif sama, sekitar 13 persen. Stimulus dari kebijakan perpajakan diperlukan untuk memperluas pasar properti ke generasi milenial.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kontribusi sektor properti—yang terdiri dari konstruksi dan real estat—terhadap produk domestik bruto (PDB) relatif sama, yaitu 12,65 persen (2014), 13,05 persen (2015), 13,2 persen (2016), dan 13,16 persen (2017). Kontribusi sektor properti pada triwulan I-2018 hingga triwulan III-2018 sekitar 13,07 persen.
Adapun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2018 sebesar 5,17 persen, dengan PDB Rp 3.835,6 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pertumbuhan sektor properti sangat dipengaruhi dinamika perekonomian global dan kebijakan fiskal nasional. Kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, volatilitas nilai tukar rupiah, serta pengetatan likuiditas global dapat menahan kinerja sektor properti.
Pada saat krisis global 2008-2009, lanjut Sri Mulyani, harga properti jatuh. Akibatnya, bank sentral harus memberikan injeksi berupa pelonggaran likuiditas. Suku bunga acuan diturunkan mendekati nol agar permintaan terhadap properti kembali meningkat. Kebijakan itu mempertimbangkan dampak berganda dari properti yang cukup besar.
”Sektor properti sangat terkait dengan stabilitas makro-ekonomi dan kebijakan moneter,” kata Sri Mulyani dalam pembukaan seminar ”Property Outlook: The Power of Property Industry to Boost Economic Growth” di Jakarta, Senin (17/12/2018).
Pemerintah berupaya meningkatkan kinerja properti melalui instrumen fiskal. Beberapa kebijakan terkait perpajakan tengah ditinjau ulang, seperti aturan Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta pungutan pajak oleh pemerintah daerah. Aturan perpajakan untuk mendorong kinerja properti dan mengerem konsumsi akan diperjelas.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, berpendapat, pemerintah perlu menyusun skema perpajakan agar generasi milenial tertarik berinvestasi properti. Ia mencontohkan, relaksasi uang muka bisa sampai 0 persen dari harga rumah jika rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan di bawah 5 persen. Perbankan diberi ruang berinovasi sehingga tenor cicilan properti nantinya bisa 20-30 tahun.
”Kalau cicilan makin panjang, daya beli kemungkinan meningkat. Proyeksi properti masih cukup bagus, tetapi pertumbuhannya harus berkelanjutan,” kata David. (KRN)