Jasa Keuangan Konvensional Berkolaborasi dengan Perusahaan Rintisan
Oleh
Caecilia Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsultan manajemen global McKinsey and Company memperkirakan hampir 80 persen industri jasa keuangan konvensional di dunia terlibat dengan perusahaan rintisan bidang teknologi finansial pada 2018. Keterlibatan yang dijalankan berupa investasi dan kemitraan strategis.
Tema itu menjadi benang merah studi terbaru McKinsey and Company bertajuk ”Synergy and Disruption: Ten Trends Shaping Fintech” yang dirilis Selasa (18/12/2018).
Dalam studi tersebut, McKinsey and Company menyebut tekfin tidak hanya sebagai perusahaan rintisan digital yang khusus bermain di bidangnya. Tekfin dikembangkan perusahaan jasa keuangan konvensional. Lembaga ini berinvestasi secara signifikan dalam teknologi untuk meningkatkan kinerja.
Selain itu, tekfin juga dikembangkan oleh perusahaan raksasa teknologi yang menawarkan layanan tekfin untuk perusahaan platform perdagangan secara elektronik atau e-dagang, misalnya AliPay mendukung bisnis Alibaba.
Tekfin juga lahir dari perusahaan rintisan yang sejak awal memosisikan diri sebagai penyedia infrastruktur tekfin. Mereka menjual layanan kepada lembaga keuangan konvensional untuk membantu mereka mendigitalkan cara kerja organisasinya dan meningkatkan manajemen risiko dan pengalaman pelanggan.
Keterlibatan bakal mencakup tiga model kelahiran tekfin tersebut. McKinsey and Company percaya, pada 2019 dan tahun-tahun yang setelahnya, tekfin berkembang semakin beragam dengan cara berbeda-beda. Tujuannya adalah tetap menyikapi tantangan ekonomi.
Perusahaan modal ventura global khusus perusahaan rintisan bidang tekfin berinvestasi sekitar 30,8 miliar dollar AS pada 2018, atau naik 1,8 miliar dibandingkan tahun 2011. Tujuan investasi secara khusus menyasar tekfin di Asia.
McKinsey and Company menyebut suntikan modal ke Asia dua kali lipat lebih besar dibandingkan rata-rata global. Selain itu, di Asia, investor publik juga semakin tertarik melakukan penyertaan investasi ke perusahaan rintisan bidang tekfin.
Di Indonesia, hasil studi McKinsey and Company tersebut telah terjadi. Pengalaman DigiAsia Bios, misalnya. DigiAsia Bios merupakan perusahaan rintisan bidang tekfin yang baru berdiri 1,5 tahun lalu. Mantan CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli menjadi salah satu pendiri perusahaan.
Chief Growth Officer DigiAsia Bios Subir Lohani yang ditemui Kompas, Rabu (19/12/2018) di Jakarta, menceritakan, DigiAsia Bios telah mengantongi tiga lisensi tekfin.
Pertama, lisensi sebagai penyedia uang elektronik dari Bank Indonesia. Kedua, lisensi sebagai fasilitator remitansi dari Bank Indonesia. Ketiga, lisensi terdaftar penyedia pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi dari Otoritas Jasa Keuangan.
Dengan ketiga izin tersebut, DigiAsia Bios berkolaborasi dengan koperasi simpan pinjam, bank perkreditan rakyat, dan bank umum kegiatan usaha satu. Wilayah operasional DigiAsia Bios di sepuluh kabupaten/kota di Jawa dan Sumatera.
”Sejak semula, konsep utama kami adalah penyedia infrastruktur tekfin, baik bagi institusi jasa keuangan konvensional maupun pelaku usaha skala mikro. Tiga lisensi itu mempermudah misi kami. Dengan koperasi dan perbankan, kami membantu digitalisasi cara kerja mereka sampai kami menjadi channeling penyaluran kredit kepada usaha mikro,” ujar Subir.
Dia menjelaskan, potensi pasar layanan tekfin untuk segmen mikro cukup besar. Misalnya, usaha agribisnis dan ekonomi kreatif di perdesaan. Sekitar 50.000 usaha telah menandatangani kontrak bisnis dengan DigiAsia Bios.
”Kendala utama kami adalah masih rendahnya literasi produk keuangan. Oleh karena itu, selama 1,5 tahun berjalan ini, kami lebih gencar melakukan edukasi,” katanya.
Mengenai kompetisi pasar, Subir mengklaim, sampai sekarang tidak banyak perusahaan rintisan tekfin yang menyediakan infrastruktur sekaligus mengantongi tiga lisensi seperti DigiAsia Bios.
Ditambah lagi, DigiAsia Bios mengkhususkan diri bermitra dengan perusahaan jasa keuangan konvensional dan mengambil model bisnis ke bisnis. (SUCIPTO)