Utang Menambah Beban
JAKARTA, KOMPAS--Meskipun masih dalam kondisi aman, namun utang luar negeri swasta tetap perlu diwaspadai. Sebab, berpotensi menambah kerentanan ekonomi domestik yang sensitif.
Jika kinerja sektor swasta pada 2019 tidak digenjot, beban utang bisa semakin berat.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri swasta, termasuk BUMN, pada Oktober 2018, tercatat sebesar 182,197 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Selasa (18/12/2018), yakni Rp 14.523 per dollar AS, maka utang swasta itu setara Rp 2.646 triliun. Jumlah utang swasta itu tumbuh 7,7 persen secara tahunan.
Sementara, utang luar negeri pemerintah pada Oktober 2018 tercatat sebesar 175,352 miliar dollar AS atau Rp 2.546 triliun, tumbuh 3,3 persen secara tahunan.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengatakan, kendati meski sama-sama tumbuh, namun utang luar negeri swasta tumbuh dua kali lipat dari utang luar negeri pemerintah.
“Kalau dibiarkan terus-menerus tumbuh dengan cepat, maka bisa berpotensi menambah kerentanan perekonomian domestik,” katanya.
Dia menilai, selama masih dalam pengawasan dan digunakan sepenuhnya untuk kegiatan produktif, utang swasta dapat merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun, jika tidak digunakan dengan tepat, beban utang bisa bertambah di tengah tekanan terhadap rupiah.
Menurut Pieter, jika defisit transaksi berjalan masih terus terjadi, pemerintah semestinya mulai memikirkan langkah untuk mengerem utang swasta. Pemerintah dan BI harus bisa mengurangi insentif bagi swasta untuk berutang ke luar negeri.
“Caranya bisa dengan kebijakan menurunkan suku bunga atau memperlonggar likuiditas perbankan. Yang jelas saat ini utang luar negeri dalam pengawasan pemerintah,” ujarnya.
Berdasarkan catatan BI, pertumbuhan utang swasta per Oktober 2018 didorong penarikan utang di sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara.
Secara keseluruhan, mayoritas utang luar negeri swasta dari sektor jasa keuangan dan asuransi, industri pengolahan, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara, serta sektor pertambangan dan penggalian. Pangsa utang luar negeri empat sektor tersebut mencapai 72,9 persen terhadap total utang luar negeri swasta.
Genjot kinerja
Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno mengatakan, sejumlah perusahaan BUMN telah berkomitmen untuk mengekspor hasil produksi. Industri BUMN yang akan didorong untuk meningkatkan ekspor pada 2019 adalah PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, PT Industri Kereta Api atau Inka (Persero), PT Barata Indonesia (Persero), dan PT Dirgantara Indonesia (Persero).
Kepala Riset Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan menyampaikan, secara umum, prospek kinerja emiten, terutama di sektor ritel dan infrastruktur, akan positif pada tahun depan. Perusahaan ritel diuntungkan peningkatan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah seiring bantuan sosial dari pemerintah.
Sementara, anggaran infrastruktur yang ditetapkan pemerintah Rp 400 triliun akan terus berkembang melalui inisiasi pihak swasta. Kondisi tersebut akan berdampak positif bagi kinerja emiten konstruksi dan infrastruktur pada 2019.
“Seandainya terjadi perubahan pemerintahan, pembangunan tidak akan berhenti. Yang terjadi paling hanya jeda,” ujarnya.
Berdasarkan rilis Kementerian BUMN, Krakatau Steel ditargetkan untuk mengekspor baja hot rolled coil (HRC) ke Malaysia dan Australia, dengan nilai yang diperkirakan Rp 907 miliar.
Adapun Barata Indonesia ditargetkan mengekspor komponen perkeretaapin ke Amerika Serikat, Afrika, dan Australia dengan nilai sekitar Rp 210 miliar.
Sementara, Inka telah memiliki kontrak ekspor kereta dengan Filipina dan Bangladesh, yang masing-masing senilai Rp 1,36 triliun dan Rp 126 miliar.
Alfred menyampaikan, perusahaan-perusahaan swasta yang tahun depan belum memiliki cukup dana untuk melunasi utang akan menutupi pinjaman dengan pinjaman lain. Hal ini berpotensi membuat pertumbuhan utang swasta berlanjut tahun depan.
“Tidak ada pilihan bagi emiten yang dari sisi kinerja masih mengalami kerugian selain melakukan pembiayaan kembali untuk membayar utang yang akan jatuh tempo,” ujarnya.
Ketidakmampuan sejumlah emiten dalam melunasi utang, lanjut Alfred, juga menjadi pertimbangan investor dalam membeli saham. (DIM)