Menjelang akhir 2018, neraca perdagangan masih saja tekor. Pada November 2018, neraca perdagangan defisit 2,047 miliar dollar AS. Secara kumulatif, pada Januari-November 2018 defisit 7,515 miliar dollar AS.
Padahal, pada Januari-November 2017, neraca perdagangan surplus 12,082 miliar dollar AS. Tahun lalu, neraca perdagangan Desember defisit 240 juta dollar AS, sehingga surplus sepanjang 2017 berkurang menjadi 11,842 miliar dollar AS.
Pada tahun ini, penyumbang utama defisit adalah migas. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada Januari-November, neraca migas defisit 12,153 miliar dollar AS. Adapun neraca nonmigas surplus 4,638 miliar dollar AS.
Perbandingan dengan kondisi 2017 cukup tajam. Pada periode Januari-November 2017, neraca migas defisit 8,571 miliar dollar AS. Sementara, pada periode yang sama, neraca nonmigas surplus 20,414 miliar dollar AS.
Kondisi global bisa dituding sebagai penyebab neraca perdagangan buruk tahun ini. Kondisi global itu antara lain perang dagang China dengan Amerika Serikat yang berdampak pada perdagangan global, termasuk perdagangan Indonesia dengan negara-negara lain.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan Dana Moneter Internasional (IMF) 3,7 persen pada 2018 dan 2019 juga membawa konsekuensi terhadap perdagangan antarnegara. Angka pertumbuhan ini merupakan hasil revisi, dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 3,9 persen. Revisi ini juga membawa konsekuensi, yakni perdagangan global turut tergerus. Sebab, seiring pertumbuhan ekonomi yang tertekan, permintaan juga akan berkurang.
Dengan kata lain, Indonesia akan menghadapi kondisi yang terus menantang hingga akhir tahun ini dan tahun depan. Apalagi, pelemahan kondisi perdagangan dan perekonomian global akan menekan harga komoditas. Maka, Indonesia yang masih asyik dengan ekspor komoditas, bukan ekspor produk bernilai tambah, akan menghadapi tantangan ekstra.
Ekspor dan impor barang adalah bagian dari transaksi berjalan di neraca pembayaran. Bagian lain yang juga dihitung dalam transaksi berjalan adalah ekspor-impor jasa serta pendapatan primer dan sekunder. Neraca jasa selama ini nyaris selalu defisit, sehingga menekan defisit transaksi berjalan pun menjadi tantangan tambahan bagi Indonesia.
Padahal, lagi-lagi, bicara dalam bahasa sederhana, transaksi berjalan yang defisit menunjukkan kemampuan menghasilkan dollar AS lebih rendah daripada kebutuhan terhadap dollar AS. Dollar AS menjadi "mahal", sehingga nilai tukar rupiah bisa tertekan. Transaksi berjalan yang tak kunjung membaik akan membuat Indonesia terlalu sering berada dalam situasi penuh tekanan, baik tekanan global maupun tekanan yang diciptakan sendiri akibat perbaikan transaksi berjalan lambat.
Sebenarnya, secara teori, penyelesaian masalahnya sudah diketahui. Solusi itu, misalnya, impor bahan baku dan penolong yang pada Januari-November 2018 sekitar 75,2 persen dari total impor Indonesia, bisa dikurangi dengan meningkatkan kandungan lokal. Tak ada penyelesaian yang solusinya akan terlihat dalam waktu singkat. Namun, langkah menuntaskan persoalan struktural di Indonesia mesti terus dilakukan. (Dewi Indriastuti)