JAKARTA, KOMPAS — Eksploitasi alam yang berlebihan melalui batubara masih terjadi. Hal itu terlihat dari persentase produksi batubara di Indonesia yang mencapai tiga kali lipat dari persentase cadangan yang dimiliki. Padahal, negara lain rata-rata memproduksi batubara di bawah jumlah cadangan.
Hal itu dikemukakan ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, dalam Catatan Akhir Tahun 2018 di Jakarta, Jumat (21/12/2018). Faisal memaparkan data dari BP Statistical Review of World Energy, Juni 2018.
Dari data tahun 2017 itu, Indonesia memiliki cadangan batubara sebesar 2,2 persen dari persediaan dunia. Namun, kontribusi Indonesia terhadap produksi batubara dunia mencapai 7,2 persen.
Sebagai perbandingan, Australia memiliki cadangan batubara sebesar 14 persen dari persediaan dunia, tetapi kontribusi terhadap produksi batubara dunia hanya 7,9 persen. Adapun Polandia yang memiliki cadangan batubara sebesar 2,5 persen cadangan dunia memiliki kontribusi produksi dunia hanya 1,3 persen.
Faisal mengatakan, berdasarkan data itu, dibandingkan negara lain, produksi batubara di Indonesia mengeksploitasi sumber daya alam. ”Secara keseluruhan, peran pertambangan dan perminyakan untuk produk domestik bruto Indonesia menduduki peringkat kelima. Namun, pertumbuhan produksi batubara tidak terlalu berkontribusi karena terjadi kebocoran walaupun produksi terus meningkat,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute Essentials Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, kendati meningkat, produksi batubara dan minyak akan turun dalam beberapa tahun ke depan. ”Ini karena tidak banyak eksplorasi dalam dua tahun terakhir,” tuturnya.
Data yang diolah IESR menunjukkan, produksi batubara selalu melebihi target dalam empat tahun terakhir. Pada 2017, pemerintah menargetkan produksi batubara mencapai 413 juta ton. Namun, produksi melampaui target tersebut hingga menyentuh angka 461,2 juta ton.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengatakan, terjadi inkonsistensi dalam peraturan mengenai batubara. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah menetapkan pengendalian produksi batubara, yakni maksimal 406 juta ton pada 2018. Namun, pemerintah kini menetapkan target produksi batubara nasional menjadi 485 juta ton.
Selain itu, pemerintah menyediakan insentif kenaikan produksi sebesar 10 persen bagi perusahaan yang memenuhi ketentuan domestic market obligation (DMO). DMO adalah kewajiban produsen batubara domestik untuk memasok minimal 25 persen produksi kepada penyedia tenaga listrik sebesar 70 dollar AS per ton.
”Kendati tidak serta-merta insentif dilakukan, ini sudah mencerminkan rendahnya komitmen pemerintah untuk mengendalikan produksi batubara secara konsisten,” ujar Maryati.
Belum menarik
Fabby melanjutkan, target investasi energi fosil dan energi baru terbarukan (EBT) masih belum tercapai karena tidak menarik di mata investor. ”Target investasi selalu dibuat tinggi, tetapi yang terealisasikan hanya 50-60 persen,” katanya.
Ia melanjutkan, realisasi target EBT dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018 tidak terpenuhi. Bahkan, pembangunan tiga pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) mundur dari jadwal.