JAKARTA, KOMPAS - Bank Indonesia menerbitkan sukuk BI sebagai instrumen operasi moneter perbankan syariah. Sukuk BI diharapkan dapat mendorong aktivitas pasar sekunder surat berharga syariah negara, serta membantu pengelolaan unit usaha keuangan syariah yang ada di Indonesia.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Nanang Hendarsah mengatakan, banyak perbankan syariah bergantung dari induknya yang konvensional, sehingga keperluan likuiditas biasanya selalu bergantung dari induk.
Sukuk BI yang terbit perdana pada Jumat, (21/12/2018), menjadi instrumen operasi moneter yang berfungsi sebagai alat kontraksi untuk menyerap likuiditas berlebih.
“Agar pasar keuangan syariah benar-benar berkembang dengan baik, diperlukan instrumen inovatif seperti sukuk BI. Imbal hasil untuk instrumen tersebut akan ditetapkan dengan cara lelang yang dijadwalkan mengikuti agenda moneter BI,” kata Nanang.
Selama ini instrumen moneter bank syariah yang tersedia hanya memiliki tenor satu malam, 1 bulan, dan 9—12 bulan. Adapun lewat sukuk BI, Bank Indonesia menyediakan instrumen moneter dengan tenor 1—2 pekan dan 3—6 bulan.
Untuk tenor yang belum terisi oleh instrumen perbankan syariah, sukuk BI bisa digunakan untuk mengelola likuiditas di jangka pendeknya. Hal ini, lanjut Nanang, membuat sukuk BI menjadi instrumen untuk pengelolaan likuiditas, berbeda dengan sukuk yang tujuannya untuk investasi.
Selain itu, menurut dia, instrumen ini akan sangat membantu pengelolaan anak usaha maupun unit usaha syariah yang ada di Indonesia. Selama ini, perbankan syariah masih terlalu bergantung pada induknya untuk memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendek.
Nanang mengatakan, likuiditas perbankan syariah saat ini masih cenderung longgar. Sampai dengan September, rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga atau financing to deposit ratio (FDR) Bank Umum Syariah per Oktober tercatat sebesar 79,7 persen, sedangkan rasio FDR Unit Usaha Syariah berada pada level 108,79 persen.
“Untuk membantu long term financing, dengan skema syariah, sukuk BI menggunakan underlying aset surat berharga dengan prinsip syariah,” ujar Nanang.
Direktur Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Pribadi Santoso mengatakan tenor sukuk BI yang pendek serta fiturnya yang dapat diperdagangkan, dapat menggairahkan perdagangan surat berharga syariah di pasar sekunder. Instrumen ini juga diharapkan dapat membantu pembentukan harga di pasar sekunder yang lebih efisien.
Selain itu, menurut dia, instrumen ini akan sangat membantu pengelolaan anak usaha maupun unit usaha syariah yang ada di Indonesia. Selama ini, perbankan syariah masih terlalu bergantung pada induknya untuk memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendek.
“Instrumen ini juga memiliki fitur dapat diperdagangkan di pasar sekunder sehingga bisa diperjualbelikan antarbank, baik syariah maupun konvensional. Namun demikian, pembelian perdana instrumen ini hanya bisa dilakukan oleh bank syariah,” ujar Pribadi.