Jalan Tengah untuk Sapi Perah
Ada banyak pilihan untuk mengatasi persoalan yang menghadang, termasuk dalam meningkatkan peternakan sapi perah. Modernisasi menjadi salah satu pilihan sekaligus jalan tengah untuk menjaga kualitas susu dan meningkatkan nilai tambah bagi peternak.
Pintu menuju peternakan sapi perah modern yang sarat teknologi kian terbuka. Dengan kemauan menyesuaikan diri, cita-cita meningkatkan produksi susu sapi segar di dalam negeri bisa ditapaki selangkah demi selangkah.
Peternak kini memiliki contoh peternakan sapi perah modern bernama Dairy Village atau Desa Susu di Ciater, Subang, Jawa Barat. Desa Susu ada di tengah hamparan kebun teh seluas 1 hektar milik PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero).
Ada berbagai jenis kandang di Desa Susu, yang disekat sesuai jenis dan usia sapi penghuninya. Ada kandang khusus untuk pedet atau anak sapi dan kandang khusus sapi betina bunting. Kotoran sapi di kandang ditampung dan dialirkan, kemudian diolah menjadi pupuk organik.
Menyatu dengan kandang, ada ruang khusus untuk memerah sapi. Pada jam memerah, sapi-sapi itu digiring melalui pintu yang menghubungkan kandang dengan ruang perah. Sebelum dipasangi alat pemerah, badan sapi lebih dulu dibersihkan. Sapi juga dijaga agar tidak stres, dengan cara membatasi orang yang boleh masuk ruang perah. Jika sapi stres, produksi susunya bisa berkurang.
Susu hasil perahan dialirkan ke tangki untuk dicek kualitasnya. Jika lolos pengecekan kualitas, susu akan didinginkan dan diangkut ke pabrik untuk diolah sebagai bahan baku industri.
Menurut Ketua Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Dedi Setiadi, Desa Susu dapat menjadi wahana belajar peternak dalam mengelola peternakan secara lebih modern.
"Dengan pengelolaan peternakan seperti Desa Susu ini, produksi susu berpotensi meningkat sekitar dua kali lipat," katanya dalam peresmian Desa Susu di Subang, Selasa (11/12/2018).
Dedi memaparkan, rata-rata produksi susu 10-12 liter per hari per sapi. Cara beternak ala Desa Susu dapat meningkatkan produksi menjadi sekitar 20 liter per hari per sapi.
Magnet
Kehadiran teknologi dan pengelolaan peternakan yang lebih modern dan higienis, menurut Dedi, seharusnya menjadi magnet bagi generasi muda untuk beternak sapi perah. Oleh sebab itu, keberadaan Desa Susu berperan penting dalam regenerasi peternak.
Saat ini, ada lima peternak yang bekerja sebagai petugas pengelola Desa Susu. "Kami memilih peternak yang usianya tak lebih dari 35 tahun dengan pengalaman beternak minimal lima tahun. Harapannya, saat peternak Desa Susu sudah memiliki modal, dia kembali ke peternakan asalnya dan mereplikasi tata kelola yang ada di sini," tutur Dairy Development Manager & FDOV Project Manager Frisian Flag Indonesia Akhmad Sawaldi.
Pelatihan juga diberikan bagi peternak lain, berupa pengelolaan peternakan, operasional, dan sistem manajerial.
Di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, ada tujuh titik pengumpulan susu (milk collecting point/MCP) sebagai wujud modernisasi.
"Kehadiran MCP meningkatkan kualitas susu dan pelayanan kepada anggota koperasi," ujar Ketua KPBS Pangalengan Aun Gunawan.
Total anggota KPBS Pangalengan sebanyak 4.200 orang, yang 2.600 orang di antaranya memiliki sapi.
Sistem penyetoran susu dari peternak ke MCP bersifat spesifik dan individual. Setiap peternak memiliki kode batang yang dipindai sebelum menyerahkan susu hasil perahan ke MCP. Menurut Aun, sistem ini membuat peternak merasa diapresiasi karena mendapat uang sesuai jumlah susu yang disetor.
Ada 13.000 ekor sapi di KPBS Pangalengan, yang 7.000 ekor di antaranya berupa sapi perah. Adapun sisanya berupa sapi jantan dan pedet. Produksi optimal susu segar KPBS Pangalengan mencapai 80 ton per hari.
Aun menambahkan, harga susu segar yang diterima peternak berkisar Rp 5.600 per kilogram.
Regenerasi sapi
Peternak menghadapi persoalan regenerasi sapi perah.
"Jika ada pedet lahir, peternak cenderung menjualnya untuk dipotong, termasuk yang betina. Hal ini tak dapat kami kendalikan karena tergantung kondisi ekonomi peternak," tutur Aun.
Pilihan menjual pedet muncul lantaran modal mengembangkan sapi pedet betina hingga menjadi sapi perah produktif cukup besar. Pedet bisa laku seharga Rp 3 juta-Rp 4 juta per ekor. Sementara, untuk mengembangkan pedet betina hingga menjadi sapi yang produktif, dalam dua tahun, perlu Rp 20 juta per ekor.
Oleh sebab itu, Ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Boediyana menilai, Desa Susu dapat menjadi model dalam memelihara dan mengembangbiakkan sapi perah di tingkat peternakan. Di Desa Susu, pedet betina yang lahir dikembangbiakkan hingga menjadi sapi perah produktif.
Baik Desa Susu maupun MCP merupakan buah kemitraan PT Frisian Flag Indonesia sebagai industri pengolahan susu dengan koperasi peternak.
Presiden Direktur PT Frisian Flag Indonesia, Maurits Klavert, mengatakan, ingin berkontribusi meningkatkan pemenuhan kebutuhan susu segar di Indonesia sebagai bahan baku industri.
Saat ini, sebagian besar bahan baku industri pengolahan susu dari impor. "Kalau kuantitasnya tersedia, kami lebih memilih susu segar dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri kami," kata Maurits.
Semula, Frisian Flag hanya membangun satu MCP pada 2016 di KPBS Pengalengan, dengan modal Rp 3 miliar. Hingga 2018, koperasi itu mereplikasi MCP secara mandiri dengan bantuan subsidi biaya 30 persen.
Sementara, modal untuk membangun Desa Susu Rp 16 miliar, yang 40 persen di antaranya merupakan investasi pemerintah Belanda, sedangkan sisanya dipenuhi KPSBU dan Frisian Flag.
"Kami ingin mereplikasi tata kelola Desa Susu ini ke peternakan kami secara mandiri. Harapannya, kami hanya memerlukan seperempat modal karena mengandalkan konten lokal dalam pembangunan infrastrukturnya," tutur Dedi.
Direktur Minuman dan Tembakau Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim berpendapat, pola kemitraan industri dengan koperasi peternak merupakan solusi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dari dalam negeri.
Sementara, Kepala Bagian Pertanian Kedutaan Belanda di Indonesia, Louis Beijer, menyebutkan, modernisasi peternakan sapi perah turut menopang pemenuhan susu nasional di Belanda.
Modernisasi berbasis kemitraan menjadi jalan tengah. Kaki mesti tetap melangkah, menapaki jalan yang dipilih. (M Paschalia Judith J)