Telah lama isu spionase dibahas ketika telepon pintar makin banyak digunakan. Belakangan, isu spionase makin kencang. Saling serang antarnegara terjadi dan masing-masing menuduh produk-produk gawai dari satu negara telah disusupi perangkat untuk memata-matai negara lawan. Sebenarnya, di luar aksi spionase, kebiasaan warga yang mudah sekali menerima begitu saja berbagai aplikasi, media sosial, dan kemudahan lain membuka peluang perusahaan untuk memata-matai kita. Tindakan ini yang perlu diwaspadai karena pelanggaran etis, menjual data privat kita, makin banyak.
Tuduhan aksi spionase terbaru muncul di Bloomberg Businessweek beberapa waktu lalu. Media ini melaporkan jika sebuah perusahaan China meletakkan cip yang sangat kecil dan mampu memata-matai 30 perusahaan Amerika Serikat seperti Apple dan Amazon. Cip itu dimasukkan ke dalam suatu perangkat oleh perusahaan subkontrak China, dalam proses produksi. Akan tetapi, berbagai kalangan yang diberitakan membantah aksi spionase itu. Mereka juga menjamin seluruh rantai pasok produksi telah aman.
Sebenarnya, dibandingkan dengan aksi spionase itu, beberapa kalangan lebih mewaspadai perusahaan-perusahaan teknologi yang mengetahui wilayah pribadi penggunanya. Beberapa pekan lalu, koran The New York Times memberitakan, dengan gawai, perusahaan teknologi mengetahui semua aktivitas kita. Banyak perusahaan mengumpulkan data-data penggunanya dan disebutkan anonim ketika digunakan untuk kepentingan bisnis. Kenyataannya, mereka menjual data personal.
Investigasi media itu memperlihatkan, salah satu aplikasi yang mempunyai kemampuan mengetahui lokasi pengguna menyatakan, data lokasi itu anonim. Namun, kenyataannya The New York Times bisa mengetahui nama pengguna dan perjalanan yang dilakukan seharian. Dengan informasi lokasi, perusahaan bisa mengetahui aktivitas pengguna, mulai dari keluar rumah, mengantar anak, pergi ke restoran, berolahraga, dan berkunjung ke pusat kebugaran. Data ini bisa digunakan pemasang iklan dan mereka yang menawarkan produk agar bisa mendekati kebutuhan pengguna.
Beberapa kalangan mulai melakukan aksi terhadap perilaku yang tidak etis. Salah seorang pemakai sebuah aplikasi mengatakan, aktivitasnya diketahui secara detail, bahkan ketika sedang berada di sebuah ruangan. Ia merasa seperti dibuntuti seseorang. Ujung dari masalah ini, mereka tidak menyadari klausul awal ketika mengunduh aplikasi yang memperbolehkan posisi mereka diketahui. Pengunduh biasanya lebih tergoda dengan tawaran seperti diskon, layanan, dan hadiah, sehingga mereka membolehkan lokasi mereka diketahui.
Ada juga yang membuat kampanye agar kita terhindar dari aksi “spionase” seperti itu. Mereka menyarankan untuk berhati-hati ketika berselancar di dunia maya karena bisa saja semua catatan dan jejak digital kita tak mudah dihilangkan. Dengan demikian, sangat mungkin semua itu menjadi bahan bagi perusahaan atau lembaga lain untuk menilai kita.
Ketika masalah makin membesar, bisa dipastikan bisnis untuk mengamankan aksi “spionase” pengguna juga kian berkembang. Beberapa perusahaan telah menawarkan teknologi untuk mencegah pemantauan oleh pembuat aplikasi. Oleh karena itu, data pribadi menjadi komoditas yang akan semakin mahal karena kian sulit didapat.
Menurut survei global, hanya 11 persen warga yang secara sukarela memberikan data mereka ke pihak ketiga. Selebihnya, tak rela data mereka diambil orang lain. Perusahaan yang menguasai data itu akan makin berjaya dan menguasai berbagai jenis bisnis di muka bumi. Kita lebih mewaspadai perilaku tidak etis dari perusahaan teknologi dalam mengelola data kita agar kita aman selama berada di dunia maya, dibandingkan dengan berbagai isu spionase antarnegara yang kadang hanya sengketa bisnis. (ANDREAS MARYOTO)