JAKARTA, KOMPAS - Pembangunan dan perawatan operasional pemancar di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar tidak cukup mengandalkan dana pelayanan universal.
Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (Bakti) Anang Latief di sela-sela diskusi publik Indonesia Merdeka Sinyal 100 Persen dan Menyongsong Industrialisasi 4.0, Kamis (27/12/2018) sore, di kawasan SCBD Sudirman, Jakarta, menyebut satu menara pemancar berteknologi 2G membutuhkan biaya operasional setahun minimal Rp 80 juta. Nilai ini sudah termasuk ongkos listrik dan transmisi satelit.
Saat ini, Bakti mempunyai sekitar 1.000 menara pemancar berteknologi 2G yang tersebar di seluruh daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Maka, total biaya operasional yang dibutuhkan mencapai Rp 80 miliar.
"Pengeluaran tersebut di luar biaya mengirim perangkat kebutuhan menara pemancar, ekspedisi, risiko kerusakan teknis, dan pembangunan kembali yang jika kami hitung bisa ratusan juta sampai satu miliar rupiah. Itu baru satu lokasi menara yang sudah berdiri. Dalam setahun, kami bisa mengeluarkan Rp 1 triliun," ujar Anang.
BAKTI bertugas mengumpulkan dana pelayanan universal (universal service obligation/USO) yang diperoleh dari iuran para operator telekomunikasi. Iuran diambil dari 1,25 persen dari pendapatan kotor setiap operator.
Menurut Anang, rata-rata total pendapatan kotor seluruh operator telekomunikasi mencapai Rp 200 triliun per tahun. Jika dipotong 1,25 persen, jumlah dana USO yang terkumpul setiap tahun rata-rata Rp 2,5 triliun.
Sementara selain perawatan operasional menara pemancar yang sudah berdiri, Bakti juga harus menggunakan dana USO terkumpul untuk pembangunan menara baru. Sebagai contoh, sampai akhir tahun 2019, Bakti ditarget oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika membangun sampai 5.000 menara pemancar baru.
"Kalau hanya mengandalkan penerimaan dana USO saja, saya kira tidak akan cukup untuk membangun sebanyak itu, meskipun teknologi yang dipakai hanya 2G," kata Anang.
Dia mengklaim, segala bentuk efisiensi telah dilakukan. Misalnya, seluruh proses pengadaan peralatan yang dibutuhkan pendirian menara pemancar dilakukan melalui katalog elektronik (e-katalog) yang disediakan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah. Dia juga mengklaim bahwa Bakti telah mengeluarkan beberapa skema pembangunan untuk mengatasi kekurangan biaya.
"Kami tentu tidak mau membebani operator telekomunikasi dengan menaikkan besaran persentase iuran. Apalagi, saat ini industri telekomunikasi di Indonesia sedang kurang bagus pertumbuhannya," tutur dia.
Pada saat bersamaan, Kasubdit Penomoran Telekomunikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Iskandar, mengatakan, setiap operator telekomunikasi yang mendapat lisensi dari pemerintah wajib membangun infrastruktur sesuai kesanggupan yang disampaikan saat pengajuan izin. Hanya saja, operator biasanya memilih membangun pemancar di daerah-daerah yang punya potensi komersial tinggi.