JAKARTA, KOMPAS--Pemerintah menindak operator telekomunikasi yang tidak bertanggung jawab atas lisensi penggunaan frekuensi. Sanksi pencabutan izin diterbitkan jika operator tetap membandel.
Salah satu sorotan pemerintah adalah pemegang lisensi penggunaan pita frekuensi 2,3 Gigahertz (GHz) untuk penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis packet switched.
Pemegang lisensinya adalah PT Berca Hardayaperkasa, PT First Media Tbk, PT Internux, PT Indosat Mega Media, PT Jasnita Telekomindo, dan PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk.
Tiga pemegang lisensi tidak membayar tunggakan kewajiban biaya hak penggunaan frekuensi selama dua tahun. Mereka adalah Jasnita Telekomindo, First Media, dan Internux.
Adapun Berca Hardayaperkasa, Indosat Mega Media, dan Telkom rajin membayar biaya hak penggunaan frekeuensi, bahkan menjalankan kewajiban membangun infrastruktur.
"Kami rutin mengevaluasi tanggung jawab mereka, termasuk memantau utilisasi atas lebar pita frekuensi yang mereka peroleh," ujar Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi, Jumat (28/12/2018), di Jakarta.
Pada 9 November 2018, Kementerian Kominfo mengeluarkan laporan evaluasi kinerja operator penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis packet switched dengan frekuensi 2,3 GHz. Laporan itu menyebutkan, First Media dan Internux (pemegang merek Bolt) menunggak pembayaran biaya hak penggunaan frekuensi pada 2016 dan 2017. Mereka mendapat jatah operasi di zona Jabodetabek dan Banten serta Sumatera Utara. First Media memiliki tunggakan Rp 364,8 miliar, sedangkan Internux Rp 343,5 miliar.
Adapun Jasnita Telekomindo menunggak Rp 2,19 triliun untuk tahun yang sama. Jatah operasional Jasnita di Sulawesi Utara.
Kementerian Kominfo meminta ketiganya melunasi biaya hak penggunaan frekuensi terutang dan denda keterlambatan paling lambat 17 November 2018. Namun, mereka tidak membayar piutang mereka sampai batas waktu yang ditentukan.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kemkominfo, Ismail, mengatakan, telah mengeluarkan surat keputusan Menkominfo Nomor 1011 dan 1012 Tahun 2018 yang isinya mencabut izin penggunaan pita frekuensi milik First Media dan Internux. Sementara, Jasnita sudah mengembalikan hak penggunaan frekuensi pada 19 November.
"Pengakhiran penggunaan pita frekuensi 2,3 GHz tidak serta merta membuat ketiganya bebas dari kewajiban melunasi tunggakan. Mereka tetap harus membayar piutang beserta denda keterlambatan kepada negara," tegas Ismail.
Dampak
Dia mengemukakan, Kementerian Kominfo juga meminta dua operator telekomunikasi di bawah grup Lippo, First Media dan Internux, untuk meminimalisasi dampak kerugian pelanggan. Sampai dengan 25 Desember 2018, berdasarkan pantauan Kementerian Kominfo, masih ada 5.056 orang pelanggan aktif yang kuota datanya lebih dari Rp 100.000.
Direktur Utama Internux, Dicky Mochtar, dalam siaran pers, menyampaikan, telah menerima surat keputusan pencabutan izin frekuensi dari Kementerian Kominfo. Pihaknya tetap berusaha memenuhi hak pelanggan dengan membangun 28 gerai Bolt Zone di Jabodetabek, Banten, dan Medan. "Kami mendukung keputusan Kemkominfo dan sepenuhnya bekerja sama untuk menyesuaikan layanan 4G LTE di Jabodetabek, Banten dan Medan," tutur dia.
Pelanggan Internux, Marsha (27), mengaku sudah mengetahui informasi kinerja Internux yang dikeluarkan Kemkominfo pada 9 November 2018.
Rencana selanjutnya
Prihadi menjelaskan, saat ini pihaknya bersama kementerian fokus mengurus pengembalian jatah frekuensi milik ketiga operator. Opsi skenario yang mungkin dilakukan adalah lelang.
"Penggunaan pita frekuensi 2,3 Gigahertz (GHz) untuk penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis packet switched memakai model zonanisasi. Apabila mau lelang, kami tentu harus mengetahui kebutuhan frekuensi di tiap zona (daerah). Apakah operator jaringan bergerak nasional atau seluler mau menerima konsep lelang seperti itu?" kata dia.
Sejalan dengan pernyataan Prihadi, Ismail menegaskan, Kementerian Kominfo belum memutuskan kebijakan lebih lanjut terkait nasib pita frekuensi bekas pemakaian First Media, Internux, dan Jasnita. Kementerian Kominfo melihat lebih dulu tren kebutuhan frekuensi di industri telekomunikasi. (MED)