Kepastian dalam berusaha. Kalimat itu menjadi jawaban yang kerap disampaikan para pelaku usaha ketika mereka ditanya mengenai hal paling diharapkan dalam berbisnis di Indonesia.
Sepintas terkesan normatif dan nyaris klise. Apalagi jawaban seperti ini berkali-kali mereka suarakan di berbagai kesempatan. Namun, justru karena diulang, diulang, dan terus diulang itulah isu ketidakpastian usaha memang menjadi hal penting yang harus terus diperhatikan.
Ihwal kepastian menjangkau banyak aspek. Sebut misalnya dalam hal perizinan, jaminan mendapatkan bahan baku, dan berbagai pernik lainnya. Sinergi dan harmonisasi menjadi hal penting di sini.
Tak bisa dimungkiri, terkadang ada perbedaan cara pandang antara satu kementerian dan kementerian lain dalam melihat sebuah persoalan. Kebijakan menyangkut garam impor, misalnya, selain soal mobil listrik, sampah atau limbah plastik, dan masih banyak soal lainnya.
Di aras pemerintahan, setiap kementerian memiliki tugas pokok dan fungsi masing-masing dan tentu saja berbeda. Alhasil, kementerian koordinator berperan penting mengoordinasikan kementerian di wilayah kerjanya.
Peran ini semakin diperlukan terlebih ketika kementerian yang kebetulan berbeda pandangan itu ada di bawah kementerian koordinator yang berbeda.
Di lain pihak, perbedaan juga kadang muncul di kalangan internal dunia usaha. Kepentingan pelaku industri di sektor hulu, misalnya, tidak selalu sama dengan pelaku industri di sektor hilir.
Bukan hal yang mudah untuk merumuskan kebijakan yang dapat memuaskan semua pihak. Di sisi lain, keragu-raguan dalam membikin keputusan pun harus dihindari karena berpotensi menciptakan ketidakpastian baru.
Berdasarkan data Bank Dunia, Kemudahan Berusaha Indonesia 2019 ada di peringkat ke-73, turun satu peringkat dari posisi sebelumnya. Secara keseluruhan, nilai Indonesia meningkat 1,42. Namun, perbaikan negara-negara lain lebih tinggi daripada Indonesia.
Kepastian berusaha dinilai penting karena investasi, terutama di sektor riil, bersifat jangka panjang. Kebijakan yang tidak konsisten dan menimbulkan ketidakpastian menjadi momok bagi para investor.
Terhitung mulai 2 Januari 2018, pelayanan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik dialihkan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pengalihan sistem akan dibarengi tindak lanjut penyatuan regulasi perizinan di tingkat pusat dan daerah yang selama ini dinilai tumpang tindih. Proses diawali dengan pengalihan sistem perizinan berusaha ke BKPM.
Investasi di sektor riil selama ini dibutuhkan karena peranannya yang berarti bagi perekonomian nasional, termasuk dalam menyerap tenaga kerja. Data survei angkatan kerja nasional Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Kementerian Perindustrian menyebutkan, jumlah tenaga kerja industri tahun 2015 sebanyak 15,54 juta orang. Jumlah tenaga kerja industri meningkat menjadi 15,97 juta jiwa di tahun 2016 dan 17,56 juta pada 2017.
Kementerian Perindustrian mencatat sektor industri pengolahan hingga November 2018 berkontribusi 30 persen terhadap penerimaan pajak dengan realisasi mencapai Rp 315,13 triliun. Sementara itu, realisasi cukai sektor industri pengolahan Rp 123,3 triliun.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai penting keterlibatan pelaku usaha memberi masukan dalam pembuatan kebijakan menyangkut dunia usaha. Kebijakan itu, antara lain, dalam merumuskan kebijakan soal devisa ekspor ataupun pembebasan pajak beberapa waktu lalu.
Sejumlah kendala kiranya masih menjadi pekerjaan rumah. Antarpihak perlu terus menjalin komunikasi dan sinergi. Di antara perbedaan dan masalah, tentu ada titik temu yang menjadi solusi. Solusi menyeluruh diperlukan oleh pelaku usaha, terlebih pada era yang berkembang semakin kompetitif.
Kepastian berusaha akan berkontribusi positif bagi pelaku usaha untuk berdaya dan bersaing baik di dalam maupun luar negeri. (C ANTO SAPTOWALYONO)