Pembangunan kawasan berorientasi transit (TOD) di kota-kota besar mulai jadi tren dengan menonjolkan integrasi dengan sistem transportasi massal, seperti kereta komuter, kereta ringan (LRT), dan moda raya terpadu (MRT). Di lahan stasiun pun dibangun apartemen.
Menjelang akhir 2018, Perum Perumnas meluncurkan proyek apartemen di lahan Stasiun Rawa Buntu, Tangerang Selatan. Proyek kerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia atau KAI (Persero) itu merupakan proyek ketiga setelah di Stasiun Tanjung Barat (Jakarta Selatan) dan Stasiun Pondok Cina (Depok).
Pengembangan hunian dengan memanfaatkan lahan PT KAI juga ditempuh pengembang PT Adhi Commuter Properti. Proyek apartemen di Stasiun Cisauk, Kabupaten Tangerang, dengan jangka kerja sama operasi 50 tahun. Pengembangan itu merupakan lanjutan setelah 7 proyek LRT City di sisi stasiun LRT Jabodebek.
Langkah BUMN menggarap apartemen berbasis TOD juga diikuti PT HK Realtindo, anak usaha PT Hutama Karya (Persero), yang membangun apartemen di Stasiun Jurangmangu, Tangerang Selatan.
Dari data PT KAI, pemasangan tiang pancang sudah dimulai di 8 lokasi, yakni di Stasiun Pondok Cina (Depok) Tanjung Barat, Juanda, Pasar Senen, Tanah Abang (Jakarta), Rawa Buntu, Jurang Mangu (Tangeran Selatan), dan Cisauk (Kabupaten Tangerang). Tak hanya di Jabodetabek, pengembangan juga dilakukan di Surabaya dan Bandung.
Pemanfaatan aset PT KAI sejauh ini merupakan kerja sama usaha antar-BUMN. Pembeli unit bisa menggunakannya sampai 50 tahun. Setelah itu, tanah dan bangunan kembali ke PT KAI.
Pengembangan itu didasarkan beberapa alasan, antara lain mobilitas warga usia produktif dari Jabodetabek ke Jakarta perlu dukungan transportasi yang memadai, sementara lahan terbatas dan harganya tinggi. Hunian yang terhubung langsung dengan stasiun kereta dinilai menjadi solusi.
Sinergi BUMN membangun hunian di lahan negara itu tidak lantas menjadikan hunian lebih terjangkau. Hunian vertikal di lahan stasiun ditawarkan dengan harga mulai Rp 250 juta untuk tipe studio (21 meter persegi) hingga Rp 1 miliar per unit untuk dua kamar. Angka itu lebih tinggi dibandingkan harga rumah tapak atau apartemen di sekitar stasiun.
Sebagai ilustrasi, harga hunian dekat stasiun yang dibangun Perumnas paling mahal sekitar Rp 1 miliar. Segmen yang dibidik adalah masyarakat berpenghasilan Rp 15 juta-Rp 20 juta per bulan.
Sementara itu, jangka waktu kepenghunian apartemen berkonsep TOD di lahan stasiun hanya 50 tahun, lebih pendek dibandingkan dengan jangka kepemilikan apartemen strata title yang mencapai 80 tahun.
Sasaran hunian di kawasan TOD pun mayoritas menyasar pasar menengah bawah dan minim bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Porsi unit bersubsidi hanya 20-30 persen dari total hunian yang dibangun.
Tak dimungkiri, proyek tersebut jadi ladang investasi. Dari informasi yang dihimpun Kompas, ada investor yang memborong hingga beberapa unit.
Dengan masuknya investor, efektivitasnya untuk mengatasi kekurangan rumah (backlog) yang mencapai 13,6 juta unit tahun 2012 diragukan. Konsep TOD juga perlu diupayakan bisa menekan kemacetan lalu lintas.
Oleh karena itu, konsep TOD harus ditunjang fasilitas seperti lahan parkir yang luas pada simpul transportasi sehingga problem kemacetan teratasi.
Pemerintah perlu membuktikan bahwa pemanfaatan lahan negara untuk proyek hunian berkonsep TOD bisa lebih berpihak ke masyarakat menengah ke bawah dan bukan berujung pada komersialisasi aset negara. Semoga terwujud.