JAKARTA, KOMPAS—Impor tetap diperlukan pada fase atau waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan. Pada saat memasuki musim tanam, misalnya, impor dibutuhkan untuk mencukupi daerah yang defisit atas komoditas tersebut.
”Jadi, jangan beranggapan ketika surplus, kita hanya ekspor. Saat bulan tertentu terbukti, Desember-Januari misalnya, jagung defisit, diadakanlah impor jagung bulan itu,” kata Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Sumarjo Gatot Irianto, Jumat (11/1/2019), dalam diskusi yang digelar Kementerian Pertanian di Jakarta.
Turut hadir pada acara tersebut pemerhati sektor pertanian, Siswono Yudo Husodo.
Gatot mengatakan, tahun ini, sejumlah program disiapkan untuk meningkatkan produksi pangan, antara lain pengembangan padi gogo di lahan kering; pengembangan tumpangsari padi, jagung, dan kedelai; serta budidaya padi rawa.
Pada 2018, padi gogo sudah ditanam di lahan seluas 1 juta hektar. Adapun pada 2019, ditargetkan 750.000 hektar.
Budidaya padi rawa akan dilakukan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan, masing-masing 250.000 hektar. Sementara pengembangan tumpangsari pada 2019, padi-kedelai, kedelai-jagung, dan padi-jagung diproyeksikan masing- masing 350.000 hektar.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, ekspor beras naik dari 225 ton pada 2012 menjadi 3.683 ton pada 2018. Beras yang diekspor tersebut berupa beras premium.
Sementara ekspor jagung yang pada 2014 sebanyak 36.803 ton, meningkat menjadi 271.865 ton pada 2018.
Perluasan
Siswono berpendapat, perluasan lahan pertanian di Indonesia mendesak dilakukan. Dengan cara ini, Indonesia dapat berbenah menjadi negara pengekspor pangan.
Mengutip data sensus Badan Pusat Statistik 2013, kepemilikan lahan petani hanya 0,3 hektar per rumah tangga petani.
”Luasan lahan ini terlalu kecil untuk membuat petani sejahtera,” kata Siswono.
Dia melanjutkan, wilayah di luar Jawa memungkinkan untuk perluasan area tanam. Sementara di Jawa sudah tidak memungkinkan karena sudah dipenuhi oleh infrastruktur industri.
Selain perluasan lahan, tambah Siswono, setiap instansi juga perlu menyamakan data. Hal ini untuk memastikan kapasitas produksi pangan nasional.
Pada Oktober 2018, data terkait luas baku sawah direvisi. Luas baku sawah berkurang dari 7,75 juta hektar (ha) pada 2013 menjadi 7,1 juta ha pada 2018. Adapun potensi luas panen tahun 2018 mencapai 10,9 juta hektar dan produksi 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras.
Data yang diumumkan itu telah melalui sejumlah proses sejak 2015. (E10)