JAKARTA, KOMPAS — Penyedia platform laman pemasaran yang tergabung dalam Asosiasi E-Commerce Indonesia mengkhawatirkan semakin bertambahnya wirausaha berjualan di media sosial dan aplikasi pesan singkat. Kekhawatiran itu dipicu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Survei yang dilaksanakan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) pada tahun 2017 kepada 1.756 pelaku UMKM di 18 kota menunjukkan, 80 persen di antara mereka berstatus pengusaha mikro, 15 persen kategori usaha kecil, dan 5 persen usaha menengah.
Dari sisi platform e-dagang yang digunakan, hanya 19 persen dari responden tersebut yang mengaku murni berjualan di laman pemasaran. Sisanya berniaga di media sosial dan laman pemasaran, serta model platform daring lainnya.
”Media sosial dan aplikasi pesan singkat tidak didesain sebagai ruang berdagang. Apabila terjadi penipuan atau kasus kejahatan lainnya, aparat sukar menindak. Konsumen pun menjadi susah terlindungi,” ujar Ketua Umum idEA Ignatius Untung, di sela-sela konferensi pers, Senin (14/1/2019) di Jakarta.
Dia mengibaratkan platform media sosial dan aplikasi pesan singkat seperti angkutan umum perkotaan. Pedagang asongan dapat berjualan seenaknya. Kondisi sama terjadi di media sosial dan aplikasi pesan singkat.
Jumlah anggota idEA saat ini berkisar 300 perusahaan di ekosistem industri e-dagang. Sebagian di antaranya bergerak sebagai penyedia platform laman pemasaran. Sebagai contoh Tokopedia, Bukalapak, Blanja.com, Lazada, dan Shopee.
Menurut Ignatius, beberapa penyedia platform laman pemasaran lokal selalu kooperatif dengan pemerintah. Sebagai contoh, mereka bersedia langsung membeberkan informasi yang dibutuhkan aparat penegak hukum untuk menyelidiki kasus jual-beli obat terlarang dan penipuan. Sementara penyedia platform media sosial dan aplikasi pesan singkat meminta terlebih dahulu ada surat keterangan dari pengadilan.
Ketua Bidang Ekonomi Digital idEA Bima Laga menceritakan, pada tahun 2018, asosiasi sudah mendengar kabar pemerintah akan mengeluarkan PMK Nomor 210 Tahun 2018. Pada saat itu, asosiasi telah menyampaikan kekhawatiran mereka tentang potensi semakin banyaknya UMKM berjualan di media sosial jika PMK benar diterbitkan.
”Kala itu, kami mengusulkan agar PMK Nomor 210 Tahun 2018 keluar bersamaan dengan peraturan khusus untuk media sosial,” kata Bima.
PMK Nomor 210 Tahun 2018 mengatur tata cara pemungutan pajak untuk mempermudah administrasi dan mendorong kepatuhan pelaku e-dagang demi menciptakan keadilan dengan pelaku usaha konvensional. Oleh karena itu, tak ada jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-dagang.
Pedagang dan penyedia jasa yang berjualan di platform e-dagang, terutama yang disorot laman pemasaran, wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5 persen dari omzet. PPh final dikenakan kepada pedagang dan penyedia jasa yang omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar dalam setahun. Sementara bagi mereka yang omzetnya lebih dari Rp 4,8 miliar dalam setahun diwajibkan membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen.
Pedagang dan penyedia jasa juga wajib membuat faktur pajak sebagai bukti pembayaran PPh dan melaporkan surat pemberitahuan masa PPN melalui penyedia platform e-dagang. Rekapitulasi seluruh transaksi e-dagang akan dilaporkan penyedia platform e-dagang kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Penyedia platform hanya diminta mewajibkan semua pelapak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan melaporkan rekapitulasi transaksi (Kompas, edisi 14 Januari 2019, halaman 13).
Selain Indonesia, negara lain pun tengah fokus menggali penerimaan pajak hasil transaksi e-dagang.
Mengutip Financial Times edisi 22 Januari 2018, sejak awal tahun lalu, tiga negara kawasan Asia Tenggara lainnya berencana menerapkan pajak terhadap hasil penjualan barang dan jasa di platform e-dagang. Ketiga negara itu adalah Singapura, Thailand, dan Malaysia. Pemerintah mereka beralasan sudah saatnya penerimaan pajak dari e-dagang menjadi sumber pendapatan penting bagi negara.
Praktik pemungutan pajak untuk penjualan di platform e-dagang sudah diselenggarakan di negara kawasan Eropa dan Amerika Serikat. Melalui praktik ini, para pelaku ritel daring menjadi setara dengan konvensional.
Senior Minister of State for Law and Finance Singapura Indranee Rajah mengatakan, 20 tahun mendatang, cara orang membeli barang akan berubah dan platform e-dagang menjadi andalan. Apabila transaksi e-dagang tidak dimasukkan dalam rezim perpajakan, negara akan rugi. Lazada disebut sempat diundang Pemerintah Singapura untuk memberikan masukan.
Direktur Jenderal Departemen Bea dan Cukai Malaysia Subromaniam Tholasy mengemukakan, pemerintahnya melakukan amandemen beberapa peraturan undang-undang perpajakan agar bisa mengumpulkan pajak dari perusahaan asing yang menawarkan layanan digital di Malaysia.
Mitra pajak untuk Deloitte Thailand, Kanchirat Thaidamri, menceritakan, Pemerintah Thailand mencoba mengenakan pajak kepada perusahaan multinasional yang tidak terdaftar di Thailand, tetapi mempunyai bisnis daring. Salah satu caranya, mencabut pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atas barang impor senilai kurang dari 47 dollar AS.