Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Beradaptasi dengan Tren Ekonomi Digital
NUSA DUA, KOMPAS — Era revolusi industri keempat yang ditandai dengan otomasi mengubah tatanan suplai-permintaan tenaga kerja. Perubahan itu dikhawatirkan berdampak ke pelaksanaan program jaminan sosial.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Agus Susanto, seusai membuka International Seminar and Board Meeting Asian Workers\' Compensation Forum (AWCF) 2019, Selasa (22/1/2019), di Nusa Dua, Bali, menyampaikan kekhawatiran tersebut telah menjadi topik perbincangan bersama tingkat Asia.
Menurut dia, pelaksanaan program jaminan sosial ketenagakerjaan yang sekarang berjalan lebih banyak pekerja terikat waktu dan tempat tetap. Sementara tren ekonomi digital memungkinkan cara baru bekerja yang tidak terbelenggu waktu, lintas batas negara, dan sistem mitra.
Laporan riset Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)”ASEAN In Transformation: The Future of Jobs at Risk of Automation”, memperkirakan 56 persen bidang pekerjaan memiliki risiko tinggi dengan hadirnya otomatisasi. Pekerja Indonesia berlatar belakang keterampilan rendah dan menengah akan rentan tergerus di era revolusi industri 4.0.
Sejumlah pekerjaan memiliki probabilitas komputerisasi yang tinggi. Di Kamboja, hampir setengah juta operator mesin jahit diperkirakan menghadapi risiko otomasi sebesar 89 persen. Di Indonesia, pekerjaan tukang kebun, penjual toko, dan penjahit diprediksi terkena otomatisasi.
56 persen bidang pekerjaan memiliki risiko tinggi dengan hadirnya otomatisasi. Pekerja Indonesia berlatar belakang keterampilan rendah dan menengah akan rentan tergerus.
Di Filipina, yang memiliki pangsa pekerjaan pertanian dan manufaktur terendah di antara ASEAN-5, buruh perikanan, pelayan, tukang kayu, pembersih kantor, menghadapi potensi otomatisasi yang tinggi. Di Thailand, risiko otomatisasi sangat akut untuk asisten penjualan toko, petugas layanan makanan, juru masak, dan pegawai kantor gabungan dan rekan profesional akuntansi.
”Seminar serta board meeting ini berusaha menggali rekomendasi untuk penerapan jaminan sosial ketenagakerjaan di era digital. Contoh isu ialah ketika pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja akibat otomasi dan bagaimana jaminan sosial berperan,” ujar Agus.
AWCF adalah sebuah organisasi internasional di bidang penyelenggaraan program jaminan sosial ketenagakerjaan, khususnya terkait kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. AWCF pertama kali berdiri pada 2012 di mana para anggotanya terdiri atas 13 institusi penyelenggara jaminan sosial dari 10 negara di Asia.
”Pertemuan khusus pengurus akan membahas evaluasi pelaksanaan jaminan sosial kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di Asia. Sebagai contoh, penilaian cakupan kepesertaan dan pencapaian literasi program tersebut,” kata Agus.
Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Maliki Ahmad mengatakan, pemerintah telah berulang kali menekankan mulai 2019, fokus pembangunan jangka pendek menengah adalah sumber daya manusia. Fokus pembangunan ini terdiri atas tiga pilar utama, yakni layanan dasar dan jaminan sosial, produktivitas, dan karakter.
Keputusan fokus pada pembangunan sumber daya manusia sudah tepat. Apalagi, Indonesia sedang menghadapi era revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan otomasi serta permintaan tenaga kerja terampil dan ahli. Sampai akhir 2017, sebanyak 65 persen dari 181,7 juta angkatan kerja berlatar pendidikan dasar dan menengah pertama. Hanya 15 persen angkatan kerja menempuh pendidikan tinggi.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, di pilar produktivitas, pemerintah akan menggenjot pendidikan ataupun pelatihan vokasi.
Maliki menyebutkan, Indonesia akan memiliki jumlah penduduk usia produktif 15-64 tahun berkisar 174-180 juta orang pada 2020-2024. Setelah itu, Indonesia masuk periode piramida penduduk tua.
Oleh karena itu, di pilar layanan dasar dan jaminan sosial, dia menerangkan, pemerintah berupaya melakukan transformasi pelaksanaan. Sebagai contoh, menggunakan data tunggal kependudukan guna mempermudah pencatatan kepesertaan dan menggali manfaat baru yang sesuai dengan perkembangan pasar tenaga kerja.
Negara lain
Mengutip laporan ”10 Global Challenges for Social Security Asia and The Pacific” yang diterbitkan International Social Security Association (2018), rata-rata 38,9 persen populasi penduduk Asia Pasifik pernah mengakses manfaat jaminan sosial minimal sekali selama jadi peserta. Kondisi cakupan kepesertaan jaminan sosial masih timpang di antara negara-negara di Asia Pasifik. Sebagai ilustrasi, penetrasi kepesertaan tertinggi ada di Australia sebesar 82 persen, sedangkan terendah berada di India, yakni hanya 19 persen.
Executive Director of Department of Labor and Employment di Employees\' Compensation Commission Filipina Stella Z Banawis mengatakan, seluruh penduduk Filiphina yang mencapai sekitar 104,9 juta orang pada 2017 sudah menjadi peserta legal jaminan sosial. Akan tetapi, 80 persen di antaranya tercatat sebagai peserta aktif program jaminan sosial.
”Pekerjaan rumah kami adalah membangun kesadaran pekerja untuk menjadi peserta program jaminan sosial khusus ketenagakerjaan. Literasi manfaat jaminan sosial di kalangan pekerja belum matang,” ujarnya.
Menurut Stella, pemerintah Filipina telah mengembangkan program jaminan sosial ketenagakerjaan yang lengkap untuk berbagai segmen tenaga kerja, mulai dari pekerja formal, informal, sampai mandiri. Bahkan, pemerintah sudah memiliki jaminan sosial khusus pekerja migran di sektor kelautan.
”Salah satu isu yang sedang dibahas pemerintah Filipina ialah nilai manfaat program jaminan sosial bagi pekerja. Apakah nilainya sudah cukup atau kami juga harus memperluas manfaat lainnya?” papar perempuan yang juga menjabat sebagai Vice Chairwoman AWCF 2016-2018 itu.
Lebih jauh, kata Stella, pemerintah Filipina kini memetakan potensi dan dampak dari implementasi revolusi industri 4.0 bagi pasar ketenagakerjaan. Dari sisi isu perlindungan pekerja migran, misalnya, pemerintah berharap sampai akhir tahun sudah ada program jaminan sosial bagi berbagai bidang pekerjaan. Pemerintah juga mempertimbangkan adanya sinergi pelaksanaan jaminan sosial bersama negara lain.