JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah pelaku usaha industri perbankan menilai regulasi baru terkait utang luar negeri akan menjaga kredibilitas bank. Sebelumnya, Bank Indonesia mengeluarkan regulasi untuk memitigasi risiko eksternal yang dilakukan bank.
Bank Indonesia (BI) baru saja mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 21/1/PBI/2019 tentang Ketentuan Utang Luar Negeri dan Kewajiban Bank Lainnya dalam Valas. Regulasi itu akan mulai berlaku pada 1 Maret 2019.
Dalam PBI tersebut, BI menambah cakupan perluasan kewajiban bank, terutama terkait transaksi partisipasi risiko. Transaksi partisipasi risiko adalah transaksi pengalihan risiko atas suatu kredit dan/atau fasilitas lainnya yang dilakukan berdasarkan perjanjian induk antara dua pihak, yaitu penjual risiko (grantor) dan pembeli risiko (participant). Dengan kata lain, transaksi partisipasi risiko merupakan praktik pengalihan utang dalam valuta asing (valas).
Direktur Keuangan PT Bank Central Asia Tbk Vera Eve Lim saat dihubungi di Jakarta, Senin (28/1/2019), mengatakan, PBI akan membuat perbankan lebih tertib dalam melakukan utang luar negeri. “Utang luar negeri yang dilakukan perbankan harus dikelola dengan baik bukan hanya karena risiko fluktuasi mata uang, tetapi juga risiko reputasi sehingga tetap kredibel,” katanya.
Berdasarkan temuan BI, transaksi partisipasi risiko mulai dilakukan oleh sejumlah bank di Indonesia sejak 2016. Meskipun BI menyatakan jumlah bank dan nilai transaksi yang melakukannya belum signifikan, transaksi partisipasi risiko menganut unsur utang luar negeri.
Transaksi partisipasi risiko selama ini tidak dilaporkan bank kepada BI dan debitur sebab tidak tercatat pada pembukuan. Dengan demikian, pencatatan utang luar negeri berpotensi menjadi tidak akurat.
Direktur Keuangan PT Bank Negara Indonesia Tbk Anggoro Eko Cahyo, menambahkan, regulasi tersebut dibuat untuk mendukung stabilitas sistem keuangan nasional di tengah volatilitas pasar keuangan global.
Dalam PBI No 21/1/PBI/2019, kewajiban utang luar negeri bank yang bersifat jangka pendek atau dengan periode maksimal satu tahun harus memiliki saldo harian paling tinggi 30 persen dari modal bank. Adapun yang bersifat jangka panjang dengan periode di atas satu tahun harus mencantumkan rencana transaksi dalam rencana bisnis bank (RBB).
Anggoro melanjutkan, BNI sejauh ini tidak memiliki rencana untuk merevisi RBB. Namun, jika ada, perubahan RBB akan dilakukan pada akhir Juni 2019.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) BI Aida Budiman dalam konferensi pers pekan lalu menyampaikan, regulasi tersebut dibuat agar perbankan lebih berhati-hati dalam membuat utang luar negeri.
Berdasarkan data BI, utang luar negeri Indonesia per November 2018 sebesar 372,86 miliar dollar AS atau setara Rp 5.234,2 triliun dengan kurs Rp 14.038 per dollar AS. Utang luar negeri itu terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar 183,51 miliar dollar AS serta swasta sebesar 189,34 miliar dollar AS.
Dalam RBB 2019, perbankan berencana mengajukan utang luar negeri sebesar 8,02 miliar dollar AS. Jumlah itu turun sedikit dibandingkan pada 2018 yang mencapai 9,9 miliar dollar AS.