Memberdayakan Petani Rempah Menoreh
Andhika Mahardika (30) memutuskan meninggalkan pekerjaan di perusahaan besar dan memilih tinggal di desa untuk memberdayakan petani. Melalui lembaga bernama Agradaya, Andhika bersama istri dan sejumlah teman berhasil meningkatkan kesejahteraan petani rempah-rempah di Perbukitan Menoreh di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Seusai lulus kuliah dari Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro, Semarang, akhir tahun 2011, Andhika sebenarnya berpeluang menikmati kehidupan nyaman di kota besar. Saat itu, begitu rampung kuliah, ia langsung diterima bekerja di sebuah perusahaan elektronik besar di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. ”Saya lulus kuliah Desember 2011, lalu Januari 2012 saya langsung kerja,” katanya.
Sebagai pegawai perusahaan besar, Andhika menikmati gaji yang lumayan tinggi sehingga kondisi finansialnya saat itu sangat aman. Namun, ternyata Andhika tak menemukan kebahagiaan saat melakoni pekerjaan tersebut.
”Meskipun secara finansial sangat secure (aman) karena lumayan gede gajinya, saya merasa enggak menemukan kebahagiaan. Kayak ada sesuatu yang kosong. Pernah di satu momen, saya membayangkan apa jadinya kalau, misalnya, saya meninggal waktu itu, seperti apa saya akan dikenang kalau hanya bekerja sebagai karyawan perusahaan aja,” tutur Andhika.
Meskipun secara finansial sangat secure (aman) karena lumayan gede gajinya, saya merasa enggak menemukan kebahagiaan.
Sejak saat itulah Andhika berupaya mencari cara agar ia bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Setelah enam bulan bekerja di perusahaan elektronik di Cikarang, ia memutuskan berhenti. Andhika lalu mengikuti program Indonesia Mengajar yang mengajak anak-anak muda lulusan perguruan tinggi untuk menjadi guru di wilayah-wilayah terpencil.
Sebagai peserta program Indonesia Mengajar, Andhika dikirim untuk menjadi guru di di Aceh Utara yang dulu merupakan wilayah konflik militer era Gerakan Aceh Merdeka. Pengalaman mengajar di Aceh itu membuat Andhika melihat langsung beragam persoalan yang ada di masyarakat, misalnya kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial.
”Saat itulah keinginan saya untuk enggak lagi kerja di korporasi di kota besar menjadi makin kuat,” ucapnya.
Pindah ke desa
Setelah penugasannya di Aceh Utara selesai, Andhika bertemu dengan sejumlah alumnus Indonesia Mengajar yang sama-sama punya keinginan untuk terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat. Salah satu yang punya cita-cita sama itu adalah Nurrahma Asri Saraswati (30), alumnus Indonesia Mengajar yang kelak menjadi istri Andhika.
Pada tahun 2014, bersama Asri dan dua teman lain, Andhika memutuskan melakukan aktivitas pemberdayaan masyarakat di desa. Mereka kemudian memilih pindah ke Desa Sendangrejo, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di sana, Andhika dan teman-teman memanfaatkan rumah milik orangtua Asri yang sudah lama tak ditinggali sebagai pusat aktivitas.
”Saat pindah ke desa ini, kami belum menentukan mau fokus ke bidang apa. Selama enam bulan pertama di sini, kami coba mengeksplorasi apa yang bisa dikembangkan di sini,” ujar Andhika yang lahir di Pemalang, Jawa Tengah.
Dari hasil eksplorasi itu, Andhika dan teman-teman memutuskan fokus pada bidang pertanian. Salah satu alasannya, wilayah Sendangrejo dan sekitarnya memiliki potensi pertanian yang bisa dikembangkan.
Selain itu, Andhika juga menilai, sektor pertanian di Indonesia masih mengalami sejumlah persoalan. Gambaran nyata persoalan pertanian di Indonesia, ujarnya, bisa dilihat dari hasil Sensus Pertanian yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013. Sensus itu menunjukkan, selama kurun waktu 2003-2013, jumlah petani di Indonesia turun sekitar 5 juta orang. Selain itu, regenerasi petani di Indonesia juga berjalan lambat karena rata-rata petani yang masih aktif berasal dari golongan tua.
”Tahun 2013, BPS bikin semacam riset tentang pertanian di Indonesia. Hasilnya, dalam kurun waktu 10 tahun, ada 5 juta petani yang ’hilang’. Selain itu, rata-rata umur petani 52 tahun dan penghasilan rata-rata petani tidak sampai Rp 500.000 per bulan. Jadi, kondisi petani di Indonesia masih dalam keadaan prasejahtera,” tutur Andhika.
Kondisi itulah yang memantapkan tekad Andhika dan kawan-kawan memulai upaya pemberdayaan petani melalui lembaga yang kemudian diberi nama Agradaya.
”Nama Agradaya itu diambil dari dua kata, yakni ’agraria’ atau pertanian dan ’berdaya’. Jadi, nama ini sebuah doa agar pertanian di Indonesia bisa berdaya,” kata Andhika.
Nama Agradaya diambil dari dua kata, yakni ’agraria’ atau pertanian dan ’berdaya’. Jadi, nama ini sebuah doa agar pertanian di Indonesia bisa berdaya.
Pada tahun-tahun awal, Agradaya mengembangkan dua program pemberdayaan di Desa Sendangrejo. Program pertama adalah pengembangan produk beras merah melalui kerja sama dengan seorang petani setempat di lahan seluas 1 hektar. Namun, program ini hanya berjalan dalam satu kali masa tanam karena sejumlah persoalan.
Program kedua adalah pembuatan emping dari melinjo melalui kerja sama dengan ibu-ibu buruh tani di Desa Sendangrejo. Program ini berjalan satu tahun, tetapi kemudian terhenti karena kekurangan bahan baku.
”Pembuatan emping melinjo ini berjalan sekitar satu tahun. Waktu itu kami sudah dapat pembeli dan terikat kontrak untuk menyuplai 3 kuintal per bulan. Namun, di tengah jalan, kami susah dapat bahan baku sehingga usaha ini akhirnya berhenti,” ujar Andhika.
Rempah-rempah
Dua usaha yang gagal itu tak menyurutkan semangat Andhika dan teman-teman untuk mengembangkan program yang bisa membantu petani. Sesudah melalui sejumlah proses, Agradaya—yang kini memiliki enam pekerja—lalu mengembangkan program baru, yakni memberdayakan petani rempah-rempah di kawasan Perbukitan Menoreh di Kabupaten Kulon Progo, DIY.
Andhika menjelaskan, petani di sejumlah desa di Perbukitan Menoreh sebenarnya sudah lama menanam rempah-rempah. Namun, selama ini, petani menjual rempah-rempah tersebut kepada tengkulak dengan harga rendah. Padahal, pasar untuk penjualan rempah-rempah sangat luas karena banyak pihak yang membutuhkan produk pertanian itu.
”Rempah-rempah itu, kan, dibutuhkan untuk banyak hal, misalnya untuk bahan baku obat, makanan, jamu, bumbu, dan sebagainya,” ucap Andhika.
Kondisi itulah yang membuat Agradaya memutuskan untuk terjun dalam program pemberdayaan petani rempah-rempah di Perbukitan Menoreh sejak Juni 2016.
Kini, program tersebut melibatkan 157 petani rempah-rempah di dua dusun di Perbukitan Menoreh di Kulon Progo, yakni Dusun Pringtali, Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, dan Dusun Anjir, Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap. Total lahan yang digarap petani di kedua wilayah itu sekitar 72 hektar. ”Sekitar 70 persen petani yang terlibat dalam program ini adalah perempuan,” ujar Andhika.
Menurut dia, program itu antara lain mencakup edukasi mengenai pertanian organik, manajemen lahan, dan pengolahan pascapanen. Secara khusus, Agradaya juga mengajak petani untuk melakukan pengeringan rempah-rempah menggunakan bangunan khusus yang disebut Rumah Surya.
Program itu antara lain mencakup edukasi mengenai pertanian organik, manajemen lahan, dan pengolahan pascapanen.
Rempah-rempah yang telah dikeringkan petani itu lalu dibeli Agradaya dengan harga relatif tinggi. Andhika menuturkan, Agradaya membeli rempah-rempah kering, misalnya berupa kunyit dan temulawak, dengan harga Rp 35.000 per kilogram. Padahal, di pasar tradisional di Yogyakarta, temulawak kering biasanya hanya dijual Rp 5.000 per kilogram dan kunyit Rp 7.000 per kilogram.
”Dulu, petani biasa menjual kunyit dalam kondisi basah dengan harga Rp 2.000 per kilogram ke tengkulak. Sebagai perbandingan, 1 kilogram rempah-rempah kering itu dihasilkan dari 5-7 kilogram rempah-rempah basah,” ujar Andhika.
Ia menambahkan, rempah-rempah kering yang dibeli Agradaya dari petani itu lalu diolah menjadi berbagai produk, misalnya bubuk rempah, minuman rempah, dan teh rempah. Produk-produk itu dibuat di markas Agradaya di Desa Sendangrejo, kemudian dijual ke beberapa toko dan restoran di sejumlah wilayah, misalnya Yogyakarta, Jakarta, dan Bali, dengan harga cukup tinggi. ”Sekitar 100 gram bubuk rempah bisa kami jual dengan harga Rp 30.000,” ujarnya.
Berkat program pemberdayaan petani rempah-rempah itu, Agradaya mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Pada tahun 2018, misalnya, Andhika menjadi juara dalam kompetisi Wirausaha Muda Mandiri. Dalam kompetisi yang digelar Bank Mandiri itu, Andhika meraih juara pertama kategori nonmahasiswa bidang usaha sosial.
Biodata
Nama: Andhika Mahardika
Lahir: Pemalang, Jawa Tengah, 13 Desember 1988
Pendidikan terakhir: Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah
Profesi: Chief Executive Officer (CEO) Agradaya
Keluarga:
Istri: Nurrahma Asri Saraswati (30)
Anak: Nirwana Bagas Mahardika (17 bulan)