Kebijakan Wajib Pungut PPN BUMN Perlu Ditinjau Ulang
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kewajiban badan usaha milik negara sebagai Wajib Pungut Pajak Pertambahan Nilai dinilai perlu dikaji ulang. Sebab, mekanisme ini berpotensi mengganggu neraca keuangan sejumlah entitas, terutama anak usaha badan usaha milik negara.
Secara umum, pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Namun, mekanisme pungutan PPN tersebut tidak berlaku pada transaksi di lingkungan badan usaha milik negara (BUMN) karena pada lingkup ini pungutan PPN dilakukan BUMN induk sebagai wajib pungut (wapu).
Kebijakan ini menjadi persoalan karena tidak semua rantai pasok melibatkan BUMN. Dampaknya, saat bertransaksi dengan swasta, anak usaha tetap dipungut PPN. Padahal, saat bertransaksi dengan induknya, anak usaha BUMN tersebut tidak memungut PPN.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo dalam diskusi bertema ”Wajib Pungut PPN, Adilkah?”, di Jakarta, Rabu (30/1/2019), mengatakan, selama ini, ada permasalahan terkait transaksi antarperusahaan atau intercompany transaction di lingkungan BUMN. Dia memberi contoh transaksi dalam sebuah proyek pembangunan yang melibatkan perusahaan BUMN dan swasta. Jika perusahaan BUMN Karya membeli produk dari anak perusahaan BUMN, PPN tidak bisa dikenakan oleh anak perusahaan BUMN kepada BUMN. Padahal, anak perusahaan sudah dikenai PPN ketika dia bertransaksi dengan perusahaan swasta.
Kondisi ini menyebabkan arus kas anak usaha BUMN terganggu. Untuk menutupi persoalan arus kas ini, banyak anak usaha BUMN yang terpaksa berutang. Kondisi ini tentu saja akan menambah beban keuangan entitas bersangkutan karena ada bunga yang harus dibayar.
”Selama ini pembangunan yang melibatkan BUMN ataupun entitas anak BUMN semakin banyak. Artinya, dana yang dibutuhkan untuk menutup setoran pajak juga semakin banyak. Pada akhirnya, mencari sumber dana bank dijadikan solusinya meskipun bunga bank yang akan ditanggung juga tidak kecil,” tutur Yustinus.
Menurut Yustinus, ketika entitas anak BUMN mengalami kesulitan arus kas karena harus memenuhi setoran pajak, operasionalnya akan terhambat. Hambatan operasional ini secara tidak langsung juga akan berpengaruh pada grup BUMN secara keseluruhan. Dampak yang dia maksud adalah menurunnya performa dan volume bisnis, hilangnya kesempatan bisnis, dan turunnya daya saing di pasar global.
Deny Andrianto, perwakilan dari Tax Forum BUMN, mengatakan, kebijakan wapu PPN oleh induk BUMN perlu dikaji kembali demi efektivitas dan efisiensi di lingkungan BUMN.
”Mengingat potensi penyelewengan setoran pajak oleh BUMN hampir tidak ada dan fungsi kontrol pemerintah terhadap BUMN yang sangat besar, sebaiknya keputusan wapu PPN di BUMN dipertimbangkan,” kata Deny.
Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Arif Yanuar mengatakan, urgensi BUMN sebagai wapu dilakukan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dalam waktu singkat dan mencegah terjadinya kebocoran. Mekanisme wapu dianggap dapat menciptakan efisiensi biaya administrasi karena pungutannya diserahkan ke pihak ketiga.
”Jika dalam pelaksanaannya dinilai memberatkan, kami akan coba lihat kembali. Jika usulan pengecualian tadi masih sesuai dengan tujuan utama Peraturan Menteri Keuangan 37/PMK.03/2015 tentu akan kami pertimbangkan,” kata Arif.
PPN adalah pajak konsumsi yang tetap menjadi primadona penerimaan negara. Bahkan, di negara maju yang tergabung di OECD, PPN semakin berperan penting. Hal ini terlihat dari kontribusi penerimaan PPN yang meningkat dari 12 persen di tahun 1965 menjadi 20 persen di tahun 2015.
Di Indonesia, penerimaan PPN juga cukup dominan. Pada periode 2005-2011, rata-rata kontribusi PPN terhadap total penerimaan pajak mencapai 35,8 persen. Rata-rata ini bahkan meningkat secara signifikan pada 2012 hingga 2018, yakni mencapai 40,5 persen.
Pada 2018, penerimaan PPN mencapai Rp 538,2 triliun atau 41 persen dari total penerimaan pajak, dan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2019 dipatok sebesar Rp 655,4 triliun atau 41,5 persen porsinya dari total penerimaan pajak Rp 1.577,5 triliun. (KRISTI DWI UTAMI)