Sekolah Vokasi Indonesia-Jerman Hasilkan 6.577 Lulusan
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kamar Dagang dan Industri Indonesia terus melanggengkan kerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri Jerman dalam menyiapkan tenaga pendidik untuk pendidikan vokasi. Kurikulum dan standar kompetensi yang diterapkan disesuaikan dengan kebutuhan industri Indonesia dan Jerman. Hal ini dilakukan untuk menjembatani ketimpangan antara kebutuhan industri dan kualitas lulusan pendidikan vokasi Indonesia.
Sejak 2016, lembaga pendidikan vokasi tersebut telah menghasilkan sekitar 1.000 tenaga pendidik yang disebut supermentor. Supermentor tersebut merupakan perwakilan dari 2.600 perusahaan yang berada di bawah Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Mereka dilatih untuk bisa mendidik mentor-mentor baru di lingkungan perusahaannya.
”Para mentor yang sudah dilatih para supermentor dari setiap perusahaan ini bertugas untuk mendidik calon-calon tenaga kerja sesuai dengan kurikulum dan standar kompetensi yang disesuaikan dengan kebutuhan industri di Indonesia dan Jerman. Sampai dengan saat ini, sudah ada 6.577 lulusan yang dihasilkan,” tutur Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (1/2/2019).
Pendidikan vokasi perusahaan-perusahaan di bawah Kadin ini menerapkan sistem pembelajaran 30 persen di kelas dan 70 persen di industri. Ada empat sektor pendidikan vokasi yang menjadi fokus, yakni otomotif, layanan kesehatan, keramah-tamahan, dan ritel.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, tenaga kerja tersebut bisa langsung dipekerjakan di perusahaan-perusahaan tersebut atau perusahaan lain yang membutuhkan lulusan dengan kualifikasi sejenis.
Menurut Rosan, hal itu dilakukan Kadin untuk meningkatkan kapasitas tenaga kerja yang akan bermuara kepada meningkatnya produktivitas tenaga kerja di Indonesia.
”Kami melihat bahwa struktur tenaga kerja kita kebanyakan lulusan pendidikan dasar. Untuk itu, pendidikan vokasi bisa jadi salah satu solusinya,” ucap Rosan.
Kurikulum
Ketimpangan antara kapasitas lulusan vokasi dan kebutuhan industri menurut Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro bermula dari kakunya kurikulum pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK). Akibatnya, banyak lulusan SMK yang tidak bisa langsung terserap ke dunia kerja.
Badan Pusat Statistik menyebutkan, tingkat pengangguran terbuka dari tingkat pendidikan SMK merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan lain. Tingkat pengangguran terbuka dari lulusan SMK pada Februari 2018 sebesar 8,92 persen.
Tingkat pengangguran terbuka yang tertinggi berikutnya adalah diploma I/II/III sebesar 7,92 persen, sekolah menengah atas sebesar 7,19 persen, universitas sebesar 6,31 persen, sekolah menengah pertama sebesar 5,18 persen, dan sekolah dasar sebesar 2,67 persen.
Hal tersebut menunjukkan, ada penawaran tenaga kerja yang tidak banyak terserap, terutama pada tingkat pendidikan SMK dan diploma I/II/III.
”Untuk membuat lulusan SMK terserap, perlu adanya penyesuaian kurikulum. Jika tidak, lulusan SMK cenderung akan menjadi generalis dan kurang spesialisasi,” ucap Ari.
Menurut dia, komposisi pelajaran umum dan pelajaran vokasi tidak tepat. Selama ini, pelajaran umum seperti olahraga, ilmu bumi, dan sejarah mendapat porsi 70-75 persen. Sementara pembelajaran terkait peningkatan keterampilan hanya mendapat porsi 25-30 persen.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu mempertimbangkan pelibatan unsur industri dalam penyusunan kurikulum SMK.
Guru
Masalah lain yang tak kalah penting adalah kurangnya kompetensi guru SMK untuk mengajar soal keterampilan. Mayoritas guru SMK memiliki kemampuan mengajar ilmu umum. Salah satu cara untuk mengatasi hal itu adalah bekerja sama dengan dunia industri.
”Kalau guru keterampilannya kurang memadai, bisa cari dari pelaku industri atau praktisi yang memang ahli di bidang tertentu. Misalnya, untuk jurusan tata boga, bisa mencari pensiunan koki yang berpengalaman di luar negeri untuk mengajar,” tutur Ari.
Ia menambahkan, bekerja sama dengan perusahaan, SMK juga bisa memangkas biaya pembelian alat praktik dan pembangunan laboratorium. Sebab, siswa SMK bisa belajar sekaligus praktik di perusahaan tersebut. Jika sudah lulus, siswa bisa langsung bekerja di perusahaan tersebut.
Dengan sistem tersebut, kedua pihak akan sama-sama mendapatkan keuntungan. SMK bisa menyalurkan lulusannya, perusahaan bisa mendapat tenaga kerja yang sudah terlatih sesuai dengan kebutuhan industri. (KRISTI DWI UTAMI)