Pelaku Pariwisata NTB Terpukul Harga Tiket dan Bagasi Berbayar
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS - Para pelaku pariwisata di Nusa Tenggara Barat mengaku mendapat pukulan berat dalam mengelola usahanya, karena ketika Lombok khususnya masih dalam proses pemulihan akibat gempa disusul kenaikan harga tiket pesawat terbang dan bagasi berbayar. Akibatnya, para tamu enggan datang ke Lombok, sehingga berdampak pada pelaku pariwisata kehilangan tamu.
“Pasar pariwisata Lombok adalah wisatawan domestik. Kalau tiket mahal ditambah penerapan bagasi berbayar, orang mikir mau ke Lombok,” ujar Dewantoro Umbu Joka, Ketua Dewan Pimpinan Daerah ssociation of the Indonesian Tours and Travel Agencies/ASITA NTB dalam jumpa pers di Kantor Dinas Pariwisata Mataram, Lombok, Senin (11/2/2019).
Pasar pariwisata Lombok adalah wisatawan domestik. Kalau tiket mahal ditambah penerapan bagasi berbayar, orang mikir mau ke Lombok
Menurut Umbu, kebijakan maskapai yang menaikan harga tiket pesawat dan penerapan bagasi berbayar momentnya kurang tepat di masa low season kunjungan, menjadikan hotel, agen perjalanan wisata, pemandu wisata dan para produsen usaha mikro kecil dan menengah semakin terpukul.
Alasannya jika wisatawan mancanegara yang sangat memperhitungkan pengeluarannya, sedang wisatawan nusantara –yang notebene pangsa pasar wisata Lombok, gemar berbelanja.
Kenaikan harga tiket dan penerapan bagasi berbayar membuat orang menahan diri berwisata ke Lombok. “Kalau ada wistawan yang datang ke Lombok, mereka berkurang minatnya berbelanja, karena khawatir di-charge bila barang bawaan lebih dari tujuh kilogram,” ujar Umbu.
Hal senada dikatakan Sahlan, Direktur Usaha Perjananan Wisata Tiara Sentosa di Mataram. Pariwisata NTB mendapat pukulan bertubi-tubi karena di tengah proses pemulihan pascagempa Lombok Juli-Agustus 2018, maskapai penerbangan menaikkan harga tiket, dan penerapan bagasi berbayar, dalam musim low season.
“Ada tamu asal Jakarta yang terpaksa meninggalkan barang oleh-olehnya di Bandara Internasional Lombok, karena harus membayar bagasi Rp 2 juta, atau lebih mahal dari harga total barang sebesar Rp 400.000,” ucap Sahlan.
Ada tamu asal Jakarta yang terpaksa meninggalkan barang oleh-olehnya di Bandara Internasional Lombok, karena harus membayar bagasi Rp 2 juta, atau lebih mahal dari harga total barang sebesar Rp 400.000
Padahal, Ia mengeluarkan Rp 800 juta untuk refund karena adanya pembatalan kunjungan tamu bulan Oktober 2018. Sebelum gempa Ruslan mengaku, tiap bulan mendapat tamu 300 orang-400 orang sebulan yang terbanyak adalah wisnus, sisanya wisman asal Slovenia dan Belanda.
Untuk melanjutkan usahanya, Ruslan menjual paket tour ke Bali dan Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, selain merumahkan empat karyawan dari sembilan karyawannya. “Selagi situasi normal, seluruh karyawan saya stand by dari pagi sampai sore menjemput dan mengantar tamu dari-ke BIL (Bandara Internasional Lombok),” tuturnya.
Produsen Kopi Lombok di Mataram, Nurwardaini, mengatakan, usahanya sekedar bisa jalan. Selama Januari-Februari masing-masing bisa menjaul kopi bubuk dengan berbagai varian rasa sebanyak 7 kilogram -jauh menurun dibanding sebelum gempa sebesar 150 kg sebulan.
Penerapan bagasi berbayar mengimbas pada produk makanan olahan lain untuk cendera mata seperti kerupuk rumput laut, kangkung olahan, sambel cengeh dan lainnya. Produk-produk itu merupakan pesanan dari pemilik kios cenderamata di Kota Mataram dan BIL. “Dalam enam bulan terakhir ‘asli’ kosong orderan dari pemilik kios cenderamata,” tutur Nurwardaini.
Sedang Kepala Dinas Pariwisata NTB, HM Faozal, juga mengatakan, kenaikan harga tiket pesawat dan penerapan bagasi berbayar berdampak pada hotel, pemandu wisata, travel agent dan UMKM. “Berat, Pak Menteri (Pariwisata Arih Yahya) saja mengeluh, apalagi saya,” ujarnya. Yang bisa dilakukan adalah agar maskapai penerbangan tetap memertahankan rute Lombok-Jakarta.