Pedagang Pasar Rejowinangun Tolak Sistem Belanja Daring
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS- Para pedagang Pasar Rejowinangun, Kota Magelang, Jawa Tengah, menolak sistem belanja dalam jaringan atau daring dalam aktivitas perdagangan mereka. Sistem belanja daring dinilai tidak layak untuk diterapkan karena melunturkan kearifan lokal, nilai-nilai luhur berupa kedekatan hubungan antara pedagang dan pembeli, yang sebenarnya sudah menjadi ciri khas pasar tradisional sejak lama.
“Sistem belanja daring akan merusak dan bahkan meniadakan tali silaturahmi antara pedagang dan pembeli. Padahal, nilai-nilai luhur seperti itulah yang justru tidak terbeli,” ujar Nasirudin, ketua Asosiasi Rejowinangun Kota Magelang (Rejotama), Selasa (12/2/2019). Asosiasi Rejotama adalah asosiasi atau paguyuban yang beranggotakan 4.000 pedagang Pasar Rejowinangun.
Nasirudin mengatakan, seiring waktu, perkembangan teknologi digital memang menjadi hal yang tak terhindarkan terjadi. Sistem belanja daring ini pun pada akhirnya juga berdampak pada penurunan omset pedagang di Pasar Rejowinangun.
Kendati demikian, Nasirudin mengatakan, semua masalah tersebut bisa diatasi dengan upaya lain, yaitu memanfaatkan teknologi digital untuk menggencarkan promosi menyangkut produk-produk yang dijual pedagang Pasar Rejowinangun. Bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Magelang (UMM), Asosiasi Rejotama saat ini merancang sedang merancang sebuah website dan aplikasi digital, yang berisikan tampilan lengkap tentang produk-produk yang dijual oleh para pedagang.
“Dalam website dan aplikasi tersebut, nantinya ditampilkan deskripsi, harga, berikut nomor kontak pedagang yang menjualnya. Cuma memberi gambaran penjelasan, dan kami tidak melayani penghantaran barang ke pembeli,” ujarnya.
Selain merusak tali silaturahmi, sistem jual beli yang dilakukan melalui pertemuan langsung antara pedagang dan pembeli ini, menurut Nasirudin, dianggap menjadi cara transaksi terbaik yang memuaskan kedua belah pihak.
“Saat bertransaksi langsung, tidak ada pihak yang dikecewakan karena produk yang ingin dibeli bisa langsung dilihat dan mungkin juga dicoba oleh konsumen sebelum membeli,” ujarnya.
Di tengah gempuran teknologi dalam berbagai bidang termasuk dalam aktivitas belanja, Nasirudin menyadari, hal yang dilakukan oleh Asosiasi Rejotama ini mungkin akan sulit untuk diterima masyarakat. Namun, secara bertahap, dia justru berharap upaya ini bisa secara perlahan mengubah pola pikir masyarakat, yang selama ini lebih menyukai sistem belanja daring.
Dia pun juga yakin aktivitas berdagang di pasar tradisional bisa diterima karena pasar memiliki keunggulan yang lain, yaitu harga produk yang lebih murah.
“Karena bebas ongkos kirim, kami pastikan barang-barang di pasar dijual dengan harga yang lebih murah disbanding yang dijual di internet,” ujarnya.
Roni, salah seorang pedagang sepatu yang sudah berdagang di Pasar Rejowinangun sejak tahun 2003, mengatakan, tiga tahun terakhir, adalah masa-masa lesu bagi aktivitas perdagangan pasar. Puncak sepinya pembeli, dirasakannya sebulan terakhir di 2019, di mana dalam waktu satu bulan ini, dirinya sama sekali tidak berhasil menjual satu pasang sepatu pun.
Di tengah kondisi tersebut, Roni terus memupuk semangatnya dan terus pergi berdagang ke pasar. Suatu ketika, dia pernah hanya berangkat dengan membawa uang Rp 10.000, dan hingga sore, akhirnya dia kehabisan uang untuk membeli BBM untuk sepeda motornya.
“Agar bisa membeli BBM dan pulang ke rumah, saya akhirnya terpaksa meminjam uang Rp 30.000 dari pedagang lain, dan menitipkan satu pasang sepatu dari kios sebagai barang jaminan,” ujarnya.
Sebelumnya, Roni hanya terbiasa nihil pembelian selama dua hingga tiga hari saja. Di luar itu, dia bisa mendapatkan omset Rp 600.000-Rp 800.000 per hari.