JAKARTA, KOMPAS – Topik pangan menjadi sorotan utama dalam debat calon presiden dan calon wakil presiden pada debat kedua mendatang. Langkah dan kebijakan pangan yang ditawarkan kedua pasangan capres mesti strategis dan substansial.
Dalam penelitian tim Litbang Kompas, sebanyak 51,8 persen dari 620 responden menilai pangan menjadi bidang paling penting untuk diselesaikan oleh pimpinan negara mendatang. “Pangan ini menyangkut hajat hidup orang banyak dan menyangkut prioritas kebutuhan hidup sehingga mendapatkan perhatian yang begitu besar,” kata Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi saat dihubungi, Jumat (15/2/2019).
Di bidang pangan, responden menganggap pengendalian harga dan jaminan stok menjadi masalah yang mendesak untuk diselesaikan. Bayu mengatakan, kedua aspek itu berkaitan.
Jika stok pangan terjamin, harga dapat dikendalikan. Oleh sebab itu, dia menilai, untuk menyelesaikan masalah pangan yang mengemuka di masyarakat, calon pemimpin negara mesti memiliki langkah teknis yang strategis hingga tataran operasional.
Menurut Bayu, visi-misi kedua pasang capres-cawapres dalam pangan sudah menunjukkan adanya perhatian menyelesaikan masalah di bidang ini. “Namun, visi-misi kenegaraan saja tidak cukup. Di tataran teknis dan operasional, pemimpin negara nantinya mesti bisa menggandeng setiap pelaku di bidang pangan, seperti industri, petani, perusahaan, dan pakar. Hasil riset litbang Kompas dapat menjadi dasar perumusan strategi tersebut,” ucapnya.
Secara substansial, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa menyoroti, ketersediaan pangan yang masih mengandalkan impor. Berdasarkan data yang dihimpunnya, impor tujuh komoditas pangan strategis pada 2014 yang sebesar 21,7 juta ton naik menjadi 27,3 juta ton pada 2018. Ketujuh komoditas itu meliputi, beras, jagung, kedelai, gandum, bawang putih, gula, dan ubi jalar.
Oleh sebab itu, Dwi mengatakan, pemimpin negara pada periode berikutnya harus menarik Indonesia keluar dari jebakan negara importir pangan. Bentuk jebakan itu tergambar dari melonjaknya harga pangan ketika ada pembatasan impor.
Jika masih ada komponen impor dalam mencukupi kebutuhan pangan nasional, Dwi khawatir, secara jangka panjang, ekonomi Indonesia akan bernasib sama seperti Sudan. “Impor pangan berarti menggantungkan pemenuhan pada harga internasional. Hal ini berbahaya bagi negara berkembang yang mayoritas pengeluaran masyarakat berpenghasilan rendahnya masih ditujukan untuk kebutuhan pangan sehari-hari,” tuturnya.