JAKARTA, KOMPAS - Pengaduan masalah gaji yang menimpa tenaga kerja Indonesia masih terus terjadi. Hal ini semestinya menjadi perhatian pemerintah dalam menjalin kerja sama internasional terutama dengan negara penempatan.
Deputi Direktur Human Rights Working Group, koalisi lembaga nonpemerintah yang fokus di bidang advokasi hak asasi manusia, Daniel Awigra di Jakarta, Kamis (14/2/2019) berpendapat, mencontohkan kasus pekerja migran Indonesia (PMI) di sektor domestik. Kerap kali mereka belum memperoleh upah layak.
Di beberapa negara penempatan, pernah terjadi perbedaan standar gaji minimal yang ditetapkan pasar kepada PMI dengan pekerja asing dari negara lain. Apabila ditambah terjadi pemotongan nilai gaji secara sepihak, hak pekerja semakin rentan.
Berangkat dari realitas tersebut, dia memandang perlunya pemerintah memasukkan poin upah kerja layak dan setara dalam setiap pembahasan perlindungan dengan negara penempatan, seperti penyusunan nota kesepahaman.
"Sebagai negara pengirim, posisi Indonesia seharusnya kuat. Pengalaman Filipina, misalnya, pemerintahnya memiliki negosiasi kuat mengenai besaran upah layak pekerja mereka," ujar dia.
Sebanyak 10 negara ASEAN telah menandatangani Konsensus Perlindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran pada November 2017. Konsensus memiliki sejumlah pokok isu, seperti perlindungan hak dasar pekerja migran dan keluarganya, hak-hak khusus tenaga kerja migran, kewajiban negara pengirim dan penerima, serta komitmen bersama negara ASEAN.
Sebagai negara pengirim, posisi Indonesia seharusnya kuat.
Pokok-pokok konsensus diturunkan menjadi rencana aksi oleh masing-masing negara, tetapi hingga sekarang belum selesai. "Materi rencana aksi bisa menyoal standar kontrak bekerja yang di dalamnya diisi submateri jenis pekerjaan, jam kerja, gaji, hak hari libur dan cuti, kewajiban, serta jaminan sosial," kata Daniel.
Mengutip data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), jumlah penempatan PMI tahun 2016 tercatat sebanyak 234.451 orang. Jumlahnya meningkat jadi 262.899 orang pada 2017. Adapun tahun 2018, total terdapat 264.092 orang PMI ditempatkan.
Jumlah pengaduan masalah PMI selama kurun waktu 2016 - 2018 mencapai lebih dari 4.000 per tahun. Jenis kasus menyangkut gaji dan perjanjian kerja selalu menempati sepuluh besar pengaduan terbanyak. Misalnya, pada 2016, pengaduan persoalan gaji tidak dibayar mencapai 472, kemudian turun menjadi 390 pada 2017, dan kembali menurun menjadi 226 tahun berikutnya.
Pengaduan masalah potongan gaji melebihi ketentuan naik dari 109 tahun 2016 menjadi 142 pada 2017. Jumlah pengaduan masalah ini turun menjadi 65 saat 2018.
Di negara penempatan, pemerintah turut campur urusan gaji bagi pekerja migran. Ada upaya keterlibatan pemerintah negara penempatan positif dan ada pula yang cenderung kurang berpihak. Sebagai contoh, pemerintah Hongkong menaikkan gaji pekerja migran Indonesia dari 4.410 dollar Hongkong menjadi 4.520 dollar Hongkong sejak September 2018. Kebijakan ini diikuti arahan meningkatkan sanksi bagi agensi yang melanggar aturan.
Sementara itu, pada Desember 2018, seperti mengutip freemalaysiatoday.com, Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia mengeluarkan wacana yang isinya meminta agar para pengusaha memotong gaji dasar pekerja migran sampai 20 persen. Tujuannya adalah mencegah pekerja melarikan diri. Jumlah yang dikurangi tersebut akan disimpan oleh Organisasi Keamanan Sosial. Pekerja asing dapat mengambilnya setelah masa izin bekerja mereka kadaluarsa.
Meski wacana itu belum terlaksana, perwakilan Migrant Care di Malaysia, Alex Ong, berpendapat, potongan 20 persen dari upah pekerja migran sebagai dana cadangan tidak masuk akal. Dia memandang ada unsur perbudakan modern yang coba mengeksploitasi pekerja.
Alex mengatakan, upah pekerja migran hampir sama seperti pekerja lokal Malaysia. Hanya saja, menurutnya, pekerja migran semestinya juga wajib menerima perlindungan sosial dan jaminan hari tua.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyebut, upah kerja layak kerap kali tidak menjadi bagian dari substansi nota kesepahaman pemerintah Indonesia dengan negara penempatan. Sebagai gantinya, besaran upah diserahkan kepada mekanisme pasar.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Maruli A Hasoloan, mengklaim, pemerintah Indonesia aktif berpartisipasi dalam forum kerja sama regional ataupun multilateral. Selain itu, pemerintah Indonesia berupaya memperkuat hubungan bilateral dengan negara-negara penempatan.
"Kini, ada 12 dokumen kerja sama bilateral dalam bentuk nota kesepahaman dengan negara-negara tujuan penempatan PMI. Ini adalah wujud pemerintah mengupayakan perlindungan selama masa bekerja bagi pekerja," kata Maruli.