Kue Bangsawan untuk Semua
Yus Elis (44), pemilik usaha Bunda Rayya. Di dalam tokonya terdapat beragam kuliner khas Palembang.“Dendam” karena tidak bisa menyantap kue khas Palembang saat kecil telah menjadi motivasi Yus Elis (44) memperkenalkan kuliner khas Palembang kepada masyarakat. Ia mengolah 10 kue khas Palembang di tokonya yang diberi nama “Bunda Rayya”
Usahanya berkembang pesat. Dalam dua tahun terakhir, dia sudah membuka tiga gerai atau toko kue di kawasan Palembang, Sumatera Selatan.
Saat ditemui di salah satu toko kuenya di Pasar Gubah, Palembang, Yus sedang memantau empat karyawannya mengolah panganan. Salah satu produk jualannya, dodol duren, sedang diaduk di dalam wajan besar yang dijerang di atas kompor. Aroma dodol menyeruak ke seluruh ruangan, menggugah selera. Hmmm...
Di dinding toko itu terpasang foto 10 produk yang disertai penjelasan, seperti kue maksuba, engkak ketan, lapis nanas, kue delapan jam, lapis kojo, dan kue makjola (maksuba, kojo, dan lapis legit). Adapun empat kue lain adalah hasil kombinasi dari kue yang ada.
Beragam kue itu adalah kue khas Palembang yang pada masa lalu biasa dihidangkan untuk masyarakat kalangan atas.
“Bisa dibilang, kue yang saya buat ini adalah kue untuk para bangsawan dan raja-raja,” kata Yus.
Untuk membuat satu loyang kue lapis, Yus membutuhkan waktu hingga 5 jam. Bahkan, kue delapan jam, sesuai namanya, perlu waktu delapan jam untuk membuatnya.
Yus baru dua tahun menjalani bisnis kuliner. Media sosial membuat produknya dikenal, tidak hanya di Palembang, namun sampai ke luar kota.
“Penjualan bisa sampai ke sejumlah daerah di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi,” jelas alumnus Sekolah Menengah Kejuruan 1 Palembang ini.
Bahkan, beberapa pelanggannya tinggal di Jerman, Singapura, Belanda, Malaysia, dan Arab Saudi. Mereka memesan kue-kue buatan Yus melalui media sosial.
Perjalanan bisnisnya dimulai dari coba-coba. Pada bulan Ramadhan 2016, Yus bereksperimen membuat kue lapis kojo. Resepnya dipelajari dari berbagai referensi.
“Saya belajar sendiri, kemudian saya kembangkan,” ujar perempuan kelahiran Lubuklinggau, Sumsel, 13 September 1974 itu.
Kue itu difoto, kemudian fotonya diunggah ke sosial media.
Tanpa disangka, foto kue itu dilirik penyanyi dangdut Ira Swara, yang kemudian memesan satu loyang.
“Untuk membeli bahan satu loyang kue lapis kojo itu saya harus berutang. Oleh karena itu, kue pesanan itu tidak boleh gagal,” kenangnya.
Sebelum 2016, Yus hidup seadanya, bersama suami dan keempat anaknya tinggal di rumah susun di kawasan Palembang sejak 20 tahun lalu. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, Yus menerima tawaran sebagai asisten rumah tangga menjelang Lebaran.
“Selain untuk bekerja, saya berharap memperoleh kue lebaran, sehingga anak-anak saya bisa makan kue,” tuturnya, dengan suara tersendat.
Kondisi itu membuat Yus melampiaskan “dendamnya” untuk lebih bersemangat memulai usaha.
Selepas mengirimkan kue ke Ira Swara, Yus berdebar-debar, menanti reaksi pelanggan pertamanya. Tak disangka, Ira Swara menyukai kue buatannya, bahkan mengunggah foto kue itu ke instagramnya. Dampaknya, satu per satu pesanan datang. Yus pun melayani pesanan itu, membuat kue berikutnya dari hasil penjualan kue yang dipesan Ira Swara.
Pesanan yang semakin banyak membuat Yus memutuskan pindah dari rusun dan menyewa rumah toko di kawasan Pasar Cinde, Palembang. Selain menjadi tempat tinggal, toko itu juga menjadi dapur pembuatan kue.
Puncak
Tahun 2018, usaha Yus kian cemerlang. Ia membuka usaha di salah satu pusat perbelanjaan di Palembang dan Pasar Gubah. “Saya menyewa toko dengan uang hasil jualan, tidak ada bantuan dari bank, atau dari pihak manapun. Saat itu memang tidak ada tawaran,” katanya.
Pada 2018 juga, Yus menjuarai kompetisi wirausaha yang digelar produk margarin. Saat itu, ia mengalahkan 5.600 usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) seluruh Indonesia.
Yus juga semakin rajin berpetualang ke dunia media sosial. Pesanan melalui media sosial berdatangan, mulai dari masyarakat biasa, artis, hingga pejabat.
“Dalam satu hari, saya bisa menjual sekitar 20 loyang kue lapis,” tuturnya.
Menjelang Hari Raya Lebaran, Yus harus lembur untuk menyelesaikan pesanan kue. Selama satu bulan Ramadhan, ia mendapat pesanan 1.800 loyang kue lapis. Menjelang Imlek, pesanan juga meningkat.
Yus mengakui, sebenarnya mengelola usaha ini tak mudah. Ia menemui berbagai kendala, antara lain keterbatasan sumber daya manusia. Saat ini, ia hanya memiliki enam karyawan. Jumlah karyawan ini tidak sebanding dengan jumlah pesanan. Namun, ia mengakui, sulit mencari karyawan yang bisa dipercaya.
“Pegawai saya sebelumnya hanya mengambil resep lalu pergi untuk membuka warung sendiri. Bagi saya tidak ada masalah, tetapi saat pesanan banyak, tentu saya sangat kesulitan,” kata Yus.
Kendala lain adalah dalam mengembangkan usaha. Sebab, menurut Yus, dana yang diperlukan untuk mengembangkan usaha tidak sedikit.
Meski demikian, Yus tak henti berkreasi. Baginya, kreasi dan inovasi tak boleh berhenti untuk memenangi kompetisi. Tanpa inovasi, pelanggan akan pergi.
Inovasinya terbaru berupa pempek pistel isi kates atau pepaya muda. Kulit pempek dibuat warna-warni dengan pewarna alami, seperti warna jingga dari wortel, merah dari buah naga, dan hijau dari sawi. Produk seharga Rp 3.000 per buah ini cukup diminati. Baru tiga hari dikenalkan, pempek ini sudah terjual 1.000 buah per hari.
Kendati sudah cukup sukses, namun Yus tak ragu berbagi resep. Menurutnya, berbagi ilmu merupakan cara untuk memperbanyak relasi.
“Dulu saya sulit sekali mendapatkan resep terbaik untuk membuat beragam kue ini. Jangan sampai orang lain merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan dulu,” tutur Yus.
Yus juga aktif bergabung dengan komunitas “payo berbagi” yang bermisi membagikan sesuatu kepada warga yang kurang mampu. Tak jarang, kuenya menjadi santapan yang selalu dibawa setiap kali kunjungan.
“Saat kecil, saya tidak bisa menikmati kue ini. Saya tidak ingin mereka seperti itu. Saya berusaha bukan untuk saya sendiri, tetapi untuk orang lain juga,” ujarnya.