Harga karet tak kunjung membaik, warga Desa Gohong di Kabupaten Pulang Pisau memilih mengganti komoditas karet dengan sengon. Saat ini harga karet di Pulang Pisau hanya Rp 4.500 per kilogram. Kondisi itu sudah berlangsung sejak 2016 lalu.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Harga karet tak kunjung membaik, warga Desa Gohong, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, memilih mengganti komoditas karet dengan sengon. Saat ini harga karet di Pulang Pisau Rp 4.500 per kilogram. Kondisi itu sudah berlangsung sejak 2016.
Kepala Desa Gohong, Yanto L Adam, Jumat (1/3/2019), mengungkapkan, produksi karet di desanya tak lagi prima. Sebelum harga jatuh, warga rajin menyadap karet. Saat ini sebagian warga malah beralih ke sengon. Beberapa justru memotong pohon karetnya.
”Apalagi dari kami (pemerintah desa) sudah menginisiasi program hutan desa yang isinya sengon semua karena lebih menjanjikan dibandingkan karet,” kata Yanto, di Palangkaraya, Jumat (1/3/2019).
Hutan desa tersebut memiliki total luas 16.245 hektar. Saat ini pengelolaannya diberikan kepada badan usaha milik desa (BUMDes) yang menanam sengon, tumih, galam, dan gahuy, beberapa tanaman endemik gambut. Pengelolaannya juga tanpa bakar.
Lahan dibuka secara manual oleh warga desa menggunakan peralatan berkebun seperti biasa. Namun, mereka menggunakan cairan beka yang mengandung bakteri pengurai sehingga ilalang dan rumput liar bekas pembukaan lahan bisa membusuk dan menjadi pupuk.
”Memang biaya produksi menjadi lebih besar ketimbang membakar, tetapi mau bagaimana lagi, daripada apinya tidak bisa dikontrol, apalagi sudah ada larangan,” ungkap Yanto.
Di lahan seluas hampir 50 hektar, Yanto beserta BUMDes menanam sengon. Namun, karena baru ditanam pada tahun 2017, saat ini sengon belum bisa dipanen. ”Tahun ini atau tahun depan sudah bisa dipanen,” kata Yanto.
Tak hanya di Pulang Pisau, anjloknya harga karet juga terjadi di Tumbang Rungan, Kota Palangkaraya. Ditambah cuaca buruk, petani karet makin tak bisa menyadap.
”Kalau hujan, air sungai meluap sampai ke kebun karet, kadang airnya tinggi. Apalagi sekarang harga sedang jatuh, tak ada yang mau menyadap, mending jadi buruh di pasar,” ungkap Aling (52), warga Tumbang Rungan, Kecamatan Pahandut, Palangkaraya.
Kebun Aling seluas 2 hektar berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Lokasi kebunnya berada di sisi Sungai Rungan. Selain kebun Aling, masih ada sekitar 45 petani karet yang kebunnya berada di sepanjang tepi sungai.
Di Tumbang Rungan, harga karet mentah berkisar Rp 6.000-Rp 6.500 per kilogram. Padahal, sebelum tahun 2015, harganya bisa mencapai Rp 11.000 per kilogram.
Wakil Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Wilayah Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah Vincentius Oei mengungkapkan, banyak faktor yang memengaruhi jatuhnya harga karet. Salah satunya adalah kebijakan untuk menahan produksi.
”Harga karet sangat bergantung pada keadaan ekonomi global, jadi tidak bisa dipaksakan. Yang bisa dilakukan pemerintah dan pengusaha adalah melakukan peremajaan,” kata Vincentius.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Tengah, nilai tukar petani saat ini mengalami kenaikan dari 94,64 poin menjadi 95,61 poin. Namun, angka tersebut masih berada di bawah poin 100.
”Artinya, indeks harga yang dikeluarkan petani, seperti biaya produksi dan operasional, lebih besar dibandingkan dengan indeks harga yang didapat,” kata Kepala BPS Provinsi Kalteng Yomin Tofri.
Yomin menjelaskan, perkebunan rakyat merupakan salah satu aspek yang memiliki poin terendah hingga 86,85 poin. Sementara perkebunan rakyat didominasi oleh perkebunan karet dengan total luas 439.659,35 hektar.
”Mudah-mudahan kerja sama beberapa negara ASEAN dengan Indonesia untuk komoditas karet bisa membuat harga lebih baik,” kata Yomin.