Turunnya permintaan batubara membuat nilai ekspor Kalimantan Selatan turun pada Januari-Februari 2019. Tren penurunan itu berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi daerah sebab kontribusi produk tambang mencapai 80 persen dari total nilai ekspor. Mengantisipasi penurunan itu, ekspor produk nontambang terus digenjot.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Turunnya permintaan batubara membuat nilai ekspor Kalimantan Selatan turun pada Januari-Februari 2019. Tren penurunan itu berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi daerah sebab kontribusi produk tambang mencapai 80 persen dari total nilai ekspor. Mengantisipasi penurunan itu, ekspor produk nontambang terus digenjot.
Mengutip berita resmi statistik Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan, nilai ekspor melalui pelabuhan di Kalsel pada Februari tahun ini 599,31 juta dollar AS atau turun 11,49 persen dibandingkan dengan ekspor Januari yang mencapai 677,13 juta dollar AS. Jika dibandingkan dengan ekspor Februari 2018 yang mencapai 683,12 juta dollar AS, nilainya turun 12,27 persen.
Sebelumnya, pada Januari 2019, nilai ekspor Kalsel juga tercatat turun 15,32 persen dibandingkan dengan ekspor Desember 2018 yang mencapai 691,45 juta dollar AS atau turun 16,16 persen jika dibandingkan dengan nilai ekspor Januari 2018 yang mencapai 698,36 juta dollar AS.
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perdagangan Provinsi Kalsel Riaharti Zulfahani mengatakan, penurunan nilai ekspor terjadi akibat turunnya permintaan batubara dari luar. Pada Februari 2019, nilai ekspor produk tambang tersebut turun 10,77 persen, dari 583,98 juta dollar AS (Januari) menjadi 521,10 juta dollar AS (Februari).
”Produk tambang memiliki kontribusi paling besar, yakni sekitar 80 persen dari total nilai ekspor Kalsel. Untuk mengantisipasi tren penurunan itu, kami berusaha menggenjot ekspor produk nontambang, terutama produk kelapa sawit, karet alam, kayu, dan perikanan,” kata Riaharti di Banjarmasin, Selasa (19/3/2019).
Produk tambang memiliki kontribusi paling besar, yakni sekitar 80 persen dari total nilai ekspor Kalsel. Untuk mengantisipasi tren penurunan itu, kami berusaha menggenjot ekspor produk non-tambang, terutama produk kelapa sawit, karet alam, kayu, dan perikanan.
Mengacu pada data realisasi ekspor Kalsel pada 2018, produk kelapa sawit menempati urutan kedua dengan kontribusi sebesar 12,52 persen, disusul produk kayu (2,71 persen), karet (2,26 persen), perikanan (0,21 persen), rotan (0,01 persen), dan produk lainnya (0,06 persen). Adapun kontribusi produk tambang mencapai 82,19 persen.
Menurut Riaharti, penurunan nilai ekspor pada awal tahun ini juga imbas perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Selama ini, China merupakan negara tujuan utama ekspor batubara dari Kalsel. Pada Februari 2019, nilai ekspor ke China turun 24,17 persen, dari 188,55 juta dollar AS menjadi 142,97 juta dollar AS.
”Selain berupaya menggenjot ekspor produk nontambang, kami juga berupaya membuka akses pasar ke negara-negara lain yang selama ini bukan negara tujuan utama ekspor produk-produk dari Kalsel, misalnya ke Australia,” tuturnya.
Dengan berbagai upaya itu, nilai ekspor Kalsel diharapkan tetap bisa naik 5 persen dibandingkan dengan nilai ekspor tahun sebelumnya. Pada 2018, nilai ekspor Kalsel mencapai 9,1 miliar dollar AS atau naik 12,3 persen dari nilai ekspor 2017 sebesar 8,1 miliar dollar AS.
Untuk menggenjot ekspor Kalsel, Perkumpulan Petani, Pedagang, dan Industri Rotan Kalimantan (Peppirka) mendesak pemerintah pusat mencabut larangan ekspor rotan, terutama rotan setengah jadi. Sampai saat ini, ekspor rotan mentah dan setengah jadi masih terganjal Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 Tahun 2012 tentang Barang Dilarang Ekspor.
”Pembukaan keran ekspor rotan pasti dapat meningkatkan devisa negara dari ekspor nonmigas. Ekspor rotan setidaknya berpotensi menambah pendapatan devisa negara sekitar 5 miliar dollar AS per tahun,” kata Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat Peppirka Anmal Ichsan.