JAKARTA, KOMPAS — Teknologi dalam jaringan ke luar jaringan untuk pedagang mikro sudah mulai dikenalkan sejak dua tahun lalu. Namun, dalam perjalanannya, akuisisi pengguna baru tidak mudah dilakukan.
Akuisisi yang tidak mudah itu disebabkan, antara lain, kondisi infrastruktur jalan yang belum merata hingga ke pelosok daerah. Akibatnya, barang pesanan pedagang mikro menjadi sulit dikirim.
Inefisiensi waktu tersebut berdampak pada harga jual barang ke konsumen yang tetap mahal.
”Ditambah lagi, tidak semua distributor utama mempunyai jaringan gudang yang masif,” kata Co-Founder dan CEO Warung Pintar, Agung Bezharie, Rabu (17/4/2019), di Jakarta.
Sejak didirikan pada November 2017, sampai sekarang, jumlah pedagang mikro berupa warung kelontong mitra Warung Pintar sekitar 2.000 orang. Dari jumlah itu, sekitar 90 persen di antaranya tergolong aktif. Pedagang tersebut berada di Jabodetabek dan Banyuwangi, Jawa Timur.
Mengutip data riset Nielsen, Agung menyebutkan, ada sekitar 3 juta usaha warung kelontong di Indonesia. Mereka adalah target pasar teknologi Warung Pintar.
”Saat kami akan mengakuisisi mitra baru, harus memperhatikan lokasi dagang mereka. Tujuannya, memudahkan kami menghubungkan mereka dengan distributor resmi milik produsen serta mengetahui tingkat kesulitan wilayah pengiriman barang,” ujar Agung.
Selain lokasi usaha, tantangan lain yang dihadapi adalah legalitas lokasi atau tempat yang dijadikan pengusaha untuk mendirikan warung kelontong. Akuisisi mitra baru akan dilakukan terhadap pedagang yang telah mengurus izin ke pemerintah daerah setempat.
Agung mencontohkan pengalaman Warung Pintar di Banyuwangi. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi meminta tim Warung Pintar mengembangkan 100 warung kelontong di area layanan publik dan tanah milik pemerintah, seperti alun-alun.
”Setelah akuisisi berhasil, peran kami selanjutnya memantau sejauh mana solusi teknologi Warung Pintar mampu meningkatkan kesejahteraan pedagang mikro. Ukuran kesejahteraan yang kami pakai adalah kenaikan pendapatan. Kalau sekarang, rata-rata mitra pedagang mengaku penghasilan mereka naik hingga 41 persen,” katanya.
Budaya
Menurut Founder dan CEO Bukalapak Achmad Zaky, tantangan utama membesarkan bisnis layanan Mitra Bukalapak adalah budaya. Pelaku usaha dagang mikro dan produsen harus mengubah kultur.
Layanan Mitra Bukalapak memungkinkan pemilik warung dan toko kelontong lebih mudah memesan barang secara daring, mendapat harga lebih murah, dan mengakses modal. Ketika pedagang kelontong memesan melalui aplikasi, barang akan dikirim ke lokasi tanpa biaya.
”Budaya seperti itu (pesan daring) belum terjadi sebelumnya. Selama ini, pengusaha kelontong belanja barang dagangan dengan cara mendatangi langsung distributor,” ujarnya.
Zaky optimistis dengan bisnis layanan Mitra Bukalapak. Dia berharap bisnis ini mampu menjangkau lebih banyak pedagang mikro yang selama ini kesulitan akses memenuhi barang dagangan.
Perusahaan konsultan McKinsey & Company dalam survei Digital Global tahun 2017 menemukan, perusahaan yang merangkul teknologi digital pengganggu bisnisnya berani berinvestasi dalam hal inovasi tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan sesama pemain. McKinsey & Company menyebut mereka sebagai pemain lama yang diciptakan kembali.
Dari sisi model bisnis, pemain lama yang diciptakan kembali memiliki kemungkinan 2,5 kali lebih besar mengakuisisi perusahaan digital. Mereka juga mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar ”membunuh” bisnis inti.
Para pemain lama yang diciptakan kembali memanfaatkan keunggulan skala dan akses permodalan mereka demi mencapai pengembalian ekonomi yang lebih besar dari rekan-rekan tradisional mereka. Sasaran investasi teknologi digital tersebut adalah sistem produksi dan distribusi, ekosistem, proses kerja, serta rantai pasok. (MED)