JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah berencana mempercepat belanja modal untuk menunjang investasi dan ekspor tahun depan. Dengan demikian, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,6 persen pada tahun 2020 diharapkan dapat tercapai.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono di Jakarta, akhir pekan lalu mengatakan, rencana mempercepat penyerapan belanja modal disampaikan dalam sidang kabinet penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2020.
Langkah mempercepat penyerapan anggaran antara lain ditempuh dengan mengalihkan sebagian besar belanja modal untuk pembangunan infrastruktur ke Kementerian PUPR yang selama ini penyerapan anggarannya lebih dari 90 persen.
Menurut Basuki, total anggaran untuk belanja modal dan belanja barang tahun 2020 mencapai sekitar Rp 800 triliun. Demi mendorong investasi dan ekspor, pemerintah memperbesar belanja modal, sementara belanja barang akan dikurangi atau setidaknya sama dengan total belanja barang pada APBN 2015. Pada APBN 2015, belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 647,3 triliun.
Pengalihan pekerjaan infrastruktur ke Kementerian PUPR telah dimulai tahun ini. Proyek tersebut adalah pembangunan lima pasar induk, antara lain di Bukittinggi, Semarang, dan Medan, serta pembangunan sekolah dan perguruan tinggi. Pembangunan proyek-proyek itu didasarkan pada Instruksi Presiden. Ke depan, revitalisasi pasar akan diserahkan ke Kementerian PUPR, baik pasar induk maupun pasar kabupaten.
Menurut Basuki, infrasrtuktur yang masih banyak diperlukan di Indonesia adalah pendukung konektivitas, baik untuk industri maupun pariwisata. Selain menyelesaikan proyek besar seperti Jalur Pantai Selatan, Kementerian PUPR akan fokus memperbaiki jalan-jalan perkebunan rakyat di Sumatera.
Dengan pelimpahan tugas tersebut, anggaran Kementerian PUPR tahun 2020 diperkirakan lebih besar dibandingkan tahun ini yang Rp 110,7 triliun.
Pemetaan
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati berpandangan, percepatan pembangunan infrastruktur memang diperlukan. Namun, pemerintah perlu mengevaluasi atau memetakan jenis infrastruktur yang memang sangat diperlukan untuk mendorong investasi dan ekspor.
“Karena pembangunan infrastruktur dapat dipercepat tetapi belum tentu berdampak pada investasi dan ekspor. Mesti dilihat respon dari dunia usaha,” kata Enny.
Menurut Enny, evaluasi mesti dilakukan karena meski selama 4 tahun terakhir pembangunan infrastruktur sangat masif, pembangunannya tidak terlalu banyak berdampak pada tingkat kemudahan berbisnis. Dalam Laporan Bank Dunia tentang Kemudahan Berbisnis 2019, skor Indonesia naik dari 66,54 pada 2018 menjadi 67,96. Namun, peringkat Indonesia turun dari 72 menjadi 73.
Untuk mendorong ekspor, sebuah produk harus kompetifif. Untuk itu, bahan bakunya mesti berasal dari dalam negeri, bukan impor. Dengan kata lain, yang perlu dibangun adalah industri di hulu, seperti bahan baku produk kosmetik yang sebagian besar masih impor. Apalagi Indonesia adalah pengekspor minyak sawit (CPO) yang merupakan bahan produk kosmetik. Hal itu terjadi karena harga gas untuk industri yang mahal membuat industri hulu tidak berkembang.
Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur mesti diikuti dengan kebijakan yang memang benar-benar mendukung sektor riil. Hal itu tidak cukup hanya ditangani satu kementerian saja, melainkan perlu koordinasi yang baik antara satu dengan lainnya.