Sebanyak 52.000 pekerja informal di Nusa Tenggara Timur tidak diupah sesuai upah minimum provinsi, yakni Rp 1.785.000 per bulan. Mereka diupah Rp 300.000-Rp 1 juta per bulan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 52.000 pekerja informal di Nusa Tenggara Timur tidak diupah sesuai upah minimum provinsi, yakni Rp 1.785.000 per bulan. Mereka diupah Rp 300.000-Rp 1 juta per bulan.
Instansi penyelesaian pengupahan tidak melakukan pengawasan terhadap pengusaha yang memiliki izin usaha. Moratorium TKI dari NTT ke luar negeri, tidak disertai dengan upaya memberikan upah yang layak dan lowongan kerja baru, menciptakan masalah baru.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Wilayah NTT Stanislaus Tefa, di Kupang, Selasa (30/4/2019), mengatakan, peringatan Hari Buruh setiap 1 Mei tidak membawa banyak dampak bagi kesejahteraan buruh. Selesai aksi demo, baik di pusat maupun di daerah, kondisi kesejahteraan buruh tetap terpuruk.
”Berangkat dari kondisi tersebut, setiap May Day, kami memilih menggelar seminar dengan berbagai pihak di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTT,” ujarnya.
Alasannya, jumlah pekerja yang terdaftar di SPSI NTT sebanyak 52.000 orang. Jumlah ini belum termasuk mereka yang belum menjadi anggota SPSI. Upah minimum provinsi (UMP) NTT 2019 bagi pekerja Rp 1.785.000 per bulan. Namun, pengusaha hanya membayar Rp 300.000-Rp 1 juta per bulan.
”Jika buruh minta upah naik, mereka dipecat majikan dengan alasan masih banyak tenaga kerja yang antre mencari pekerjaan dan siap diupah dengan gaji yang sama,” kata Tefa.
Jumlah tenaga kerja usia produktif di NTT sebanyak 2 juta orang. Mereka sebagian besar bekerja di sektor nonformal. Bahkan, banyak yang datang dari desa, bekerja dengan anggota keluarga atau pengusaha, hanya sekadar mendapatkan makan dan tempat tinggal tanpa diupah.
Jika buruh minta upah naik, mereka dipecat majikan dengan alasan masih banyak tenaga kerja yang antre mencari pekerjaan dan siap diupah dengan gaji yang sama.
Pemprov, pemkab, dan pemkot setiap tahun menaikkan UMP, tetapi kenaikan itu tidak disertai sanksi hukum bagi pengusaha yang melanggar. Buruh tetap diupah Rp 300.000-Rp 1 juta. Tunjangan hari raya (THR) pun sebagian besar tidak diberikan.
Buruh yang melapor dianggap ”bermusuhan” oleh pengusaha dan akhirnya dipecat. Sementara instansi teknis yang membidangi masalah pengupahan tidak melakukan pengawasan.
Pekerja sebagian besar sudah berkeluarga. Mereka butuh biaya untuk hidup. Apalagi kebutuhan hidup setiap bulan bergerak naik. Kebutuhan dasar saat ini tidak hanya bahan pokok, tetapi juga telepon seluler dilengkapi pulsa yang harus dibeli sesuai kebutuhan.
Jalan satu-satunya adalah menjadi TKI. Hal ini merupakan pilihan mereka sendiri, baik ilegal maupun legal. Namun, dengan menempuh jalur legal pun, pekerja sering dihambat, dihalangi dengan berbagai alasan. Karena itu, banyak di antara mereka yang memilih menjadi TKI ilegal dengan berbagai risiko, termasuk kematian.
Tefa menyebutkan, moratorium TKI oleh Pemprov NTT pada Januari 2019 harus diikuti dengan kebijakan membuka lapangan pekerjaan baru bagi pencari kerja. Moratorium tanpa solusi sama dengan menciptakan pengangguran, kemiskinan, dan masalah kriminal di NTT.
”Pemda selalu mengatakan, NTT kaya, punya ini, punya itu, masih butuh banyak tenaga kerja untuk mengelola. Tetapi, itu hanya pada tataran pemikiran pemerintah, yang dalam keseharian hidup sudah terlayani. Pemikiran seperti itu mestinya direalisasikan pemerintah dalam bentuk lebih konkret untuk pencari kerja,” tutur Tefa.
Moratorium TKI
Moratorium ditindaklanjuti dengan penandatanganan nota kesepahaman bersama antara PT Angkasa Pura I dan Komandan Pangkalan Udara El Tari Kupang bersama Pemprov NTT guna mencegah TKI NTT ke luar negeri. Alasannya, ratusan TKI asal NTT meninggal di luar negeri karena berangkat secara ilegal.
Ketua DPW GP Ansor NTT Abdul Muis mengatakan, moratorium TKI NTT semestinya ditindaklanjuti dengan pembangunan balai latihan kerja (BLK) di setiap kabupaten/kota atau per rayon. Kota Kupang dan Kabupaten Kupang, misalnya, memiliki satu BLK di Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara serta satu BLK di So’e. Kedua pemkab bekerja sama membangun BLK itu.
Satu unit BLK milik Pemprov NTT di Kota Kupang pun tidak mengadakan pelatihan terhadap calon TKI, tetapi melatih orang yang ingin menekuni bidang karya tertentu. Jumlahnya berkisar 20-70 orang per tahun.
Piter Tadon Koda (26), salah satu pencari kerja di Liliba, Kota Kupang, mengatakan, dirinya memegang ijazah sarjana pendidikan tahun 2016, tetapi sampai hari ini belum mendapatkan pekerjaan. Sekitar 20 lamaran telah disampaikan ke instansi pemerintah, BUMN, dan swasta, tetapi satu pun tidak ada tanggapan.
”Saya belum kerja. Kebutuhan hidup dan lainnya dibantu saudara dari bapak. Saya juga ingin menjadi TKI jika sampai akhir 2019 tidak mendapatkan pekerjaan,” ujar Koda.