Sejumlah pekerja media di Jawa Tengah berharap Hari Buruh Internasional bisa dijadikan momentum untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan pekerja media. Sebab, selama ini, masih banyak persoalan terkait ketenagakerjaan yang dinilai belum bisa diatasi pemerintah.
Oleh
KRISTI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Sejumlah pekerja media di Jawa Tengah berharap Hari Buruh Internasional bisa dijadikan momentum untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan pekerja media. Sebab, selama ini masih banyak persoalan terkait ketenagakerjaan yang dinilai belum bisa diatasi pemerintah.
Puluhan pekerja media melakukan aksi turun ke jalan dari Tugu Muda Semarang menuju Menara Suara Merdeka, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (1/5/2019). Aksi tersebut dilakukan untuk menolak aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Tak hanya itu, massa aksi juga menyayangkan adanya keterlambatan dalam pembayaran upah pekerja, mencicil upah pekerja, mencicil pesangon PHK, serta memberhentikan pekerja tanpa pesangon.
Di Kota Semarang, misalnya, ada dua media cetak yang telah merugikan pekerjanya. Satu media cetak dilaporkan kerap terlambat membayarkan upah dan tanpa kompensasi. Sementara media lain dilaporkan karena memberhentikan pekerja tanpa membayarkan upah dan pesangon.
Dihubungi dari Tegal, Jawa Tengah, Rabu sore, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang Edi Faisol mengatakan, pemerintah provinsi ataupun pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah kurang peduli terhadap nasib pekerja media.
Menurut Edi, saat ini masih banyak pekerja media di Jawa Tengah yang tak mendapat upah sesuai nilai upah minimum.
”Di Kota Semarang misalnya, ada dua media cetak yang telah merugikan pekerjanya. Satu media cetak dilaporkan kerap terlambat membayarkan upah dan tanpa kompensasi. Sementara media lain dilaporkan karena memberhentikan pekerja tanpa membayarkan upah dan pesangon,” ucap Edi.
Menurut Edi, AJI pernah mengirim perwakilannya untuk menanyakan kasus itu kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Tengah dan Disnakertrans Kota Semarang. Namun, dinas-dinas tersebut beralasan masih ada kekurangan tenaga pengawas industrial.
”Dinas itu sebenarnya tahu bahwa dua media cetak itu melanggar norma perburuhan, tapi mereka tak berani menindak secara tegas,” kata Edi.
Permasalahan terkait upah tak layak juga dialami sejumlah pekerja media di Kota Tegal dan Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Tak hanya itu, tunjangan dan asuransi kesehatan juga tak mereka dapatkan dari perusahaan. Padahal, risiko pekerjaan pekerja media tidak kecil.
Fauzan (29), wartawan sebuah televisi nasional, mengungkapkan, upah yang diterimanya sering kali tak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Tak jarang, dirinya harus bekerja sampingan sebagai sopir untuk menambah pemasukan.
Dalam sebulan gaji yang diterima Fauzan sekitar Rp 2,5 juta. Dia bertugas untuk wilayah liputan di Kota Tegal, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Brebes. Biaya operasional liputan yang harus ia keluarkan dalam sebulan setidaknya Rp 1 juta.
”Sisa uang sekitar Rp 1,5 juta itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Biasanya jadi sopir untuk menambah pemasukan,” ucap Fauzan.
Santi (38), wartawan radio nasional yang bertugas di Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan, dan Kota Pekalongan mengungkapkan, tidak adanya asuransi dan jaminan kesehatan merugikan dirinya. Sebab, risiko kerja sebagai wartawan sangat tinggi.
Sisa uang sekitar Rp 1,5 juta itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Biasanya jadi sopir untuk menambah pemasukan.
”Kami kerja 24 jam dalam sehari, harus siap liputan ke mana dan dalam kondisi apa pun. Hal itu membuat kami rentan sakit. Sementara perusahaan tidak menanggung biaya pengobatan jika kami sakit,” tutur Santi.
Santi berharap, meski upah yang dirinya terima senilai upah minimum, setidaknya dia diberi tunjangan atau asuransi kesehatan.
Sebanyak 11 kasus
Selama 2018, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) telah menangani 11 kasus ketenagakerjaan di tujuh perusahaan media. Dari 11 kasus tersebut, 5 kasus terkait masalah senja kala media cetak, 1 kasus media daring yang tidak mampu bertahan secara bisnis, dan 5 kasus pelanggaran normatif ketenagakerjaan.
Advokat Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Jawa Tengah, Abdun Nafi Alfajri, menyebutkan, kasus perselisihan ketenagakerjaan yang terjadi di Jawa Tengah memiliki pola yang hampir sama, hanya latar belakangnya yang berbeda. Ia khawatir, masalah turbulensi media masih akan terus berlanjut, disertai dengan pola-pola pelanggaran hak ketenagakerjaan.
Sementara itu, Kepala Disnakertrans Provinsi Jawa Tengah Wika Bintang menuturkan, mayoritas kasus ketenagakerjaan yang terjadi di Jawa Tengah didominasi oleh penggajian buruh tidak sesuai dengan standar upah minimal kabupaten atau kota. Berdasarkan hasil pemeriksaan Disnakertrans Jawa Tengah sepanjang tahun 2018, masih ada 437 dari 3.122 perusahaan yang masih melanggar.
”Kurang lebih terdapat 13 persen perusahaan yang tidak memberi upah sesuai standar upah minimum,” tutur Wika.
Menurut Wika, perusahaan yang tidak membayarkan gaji sesuai standar upah minimal akan dikenai sanksi administratasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 90 Ayat (1). Saksi yang bisa dikenakan adalah pidana paling lambat 1 tahun dan paling lama 4 tahun serta denda sebesar Rp 100 juta-Rp 400 juta.