Skema Terbaik untuk Proteksi Bencana Alam Disiapkan
Pemerintah dan pelaku industri asuransi perlu menyusun skema asuransi yang dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat. Proteksi diperlukan karena punya manfaat mitigasi risiko bencana hidrometeorologi yang peluangnya cukup tinggi di wilayah Indonesia.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan pelaku industri asuransi perlu menyusun skema asuransi yang dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat. Proteksi diperlukan karena punya manfaat mitigasi risiko bencana hidrometeorologi yang peluangnya cukup tinggi terjadi di wilayah Indonesia.
Berdasarkan Laporan Risiko Global 2019 yang disusun World Economic Forum bersama Marsh & McLennan Companies dan Zurich Insurance Group, cuaca ekstrem dan kegagalan mitigasi bencana menempati peringkat teratas dalam survei penyebab bencana.
Hal ini sejalan dengan pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menilai, dalam beberapa waktu terakhir, kumpulan bencana akibat dari cuaca ekstrem yang terjadi di wilayah Indonesia mencapai 96 persen dari total bencana.
Direktur Pengawas Asuransi dan BPJS Kesehatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ahmad Nasrullah mengatakan, pemerintah sedang menggodok beberapa opsi skema asuransi bencana alam untuk meningkatkan perlindungan aset dari risiko kerusakan.
”Indonesia punya potensi bencana alam yang sangat besar di dunia, tetapi banyak properti yang sebenarnya belum terlindungi oleh asuransi,” ujar Ahmad saat dihubungi, Sabtu (4/5/2019).
Salah satu skema yang tengah dipertimbangkan pemerintah adalah mengumpulkan uang di tingkat regional, kemudian dibelikan produk asuransi. Di luar itu, pemerintah juga mempertimbangkan penerbitan surat utang kebencanaan yang bisa dicairkan sewaktu-waktu apabila terjadi bencana.
OJK menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah terkait pemilihan skema asuransi bencana alam. Apabila industri dilibatkan, pihaknya akan memantau pelaksanaannya dan menimbang apakah diperlukan peraturan khusus OJK.
Menurut Ahmad, jumlah anggaran kebencanaan yang saat ini di sekitar 300 juta dollar AS tidak akan cukup untuk mengatasi risiko kebencanaan dalam skala besar. Bencana alam yang terjadi di kota besar tentunya membutuhkan biaya yang lebih besar untuk membayar klaim aset dan properti dibandingkan di perdesaan.
”Kalau di Jakarta terjadi gempa yang dahsyat, sama seperti di Chile, mungkin seluruh industri asuransi kita tidak akan sanggup untuk melingkupi semua kerugian,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Dody AS Dalimunthe mengatakan, asuransi bencana alam di daerah rawan saat ini belum terlalu diminati. Rendahnya kesadaran asuransi bencana di daerah yang rawan bencana, menurut dia, menggambarkan problem rendahnya literasi asuransi secara umum.
”Di daerah rawan bencana, minat penduduk memiliki polis asuransi masih minim. Indikasinya terlihat dari sedikitnya klaim asuransi yang dibayarkan,” ujarnya.
Saat ini, penetrasi industri asuransi Indonesia baru 3 persen dari produk domestik bruto. Pemerintah bersama industri asuransi perlu terus mendorong literasi, terutama menyasar masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah, termasuk di daerah bencana.