Mutu Lembaga Pelatihan Kerja Tidak Dikontrol Pemerintah
JAKARTA, KOMPAS — Pengawasan dan kontrol mutu yang pemerintah lakukan terhadap lembaga pelatihan kerja khusus pekerja migran sektor domestik dinilai masih lemah. Hal ini mengakibatkan kompetensi pekerja yang akan dikirim pun tidak berkualitas.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo di Jakarta, Senin (6/5/2019), menyatakan, berdasarkan pengamatan organisasi, praktik pelatihan kerja bagi calon pekerja migran Indonesia sektor domestik masih ada yang dilakukan di rumah penampungan. Materi pelatihannya tidak sistematis, termasuk pelaksanaan sertifikasi profesi.
”Permintaan pekerja migran Indonesia sektor pekerjaan domestik masih tinggi, khususnya datang dari negara kawasan Asia Timur,” ujarnya.
Biaya pelatihan kerja biasanya diikutsertakan dalam total ongkos penempatan. Pemerintah daerah yang semestinya mempunyai peran besar mengawasi dan mengontrol mutu balai atau lembaga pelatihan kerja juga belum optimal.
Materi pelatihannya tidak sistematis, termasuk pelaksanaan sertifikasi profesi.
Menurut Wahyu, pemerintah pusat rajin menyerukan pentingnya pelatihan vokasi untuk meningkatkan kualitas kompetensi pekerja. Salah satu upayanya melalui revitalisasi balai latihan kerja (BLK). Dia mengakui, sejumlah BLK untuk tenaga kerja dalam negeri berhasil direvitalisasi. Namun, pemerintah luput terhadap nasib BLK luar negeri yang berfungsi melatih calon pekerja migran Indonesia.
”Akibatnya, praktik pelatihan kerja di rumah-rumah penampungan tetap marak. Praktik abal-abal sertifikasi kompetensi calon pekerja migran pun tetap berlangsung,” ujarnya.
Pemerintah pusat gencar mendorong komunitas ikut membangun BLK. Dia menilai, hal itu bisa menjadi pijakan mengarahkan pemerintah daerah terlibat aktif.
”Tren yang kini berkembang adalah majikan lebih suka pekerja migran Indonesia yang sudah pernah migrasi. Di sisi lain, ada sejumlah pekerja migran baru yang coba diberangkatkan oleh perusahaan swasta dengan metode mirip praktik perdagangan orang,” ujar Wahyu.
Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran Savitri Wisnuwardhani memiliki pandangan senada. Dinas tenaga kerja dan transmigrasi cenderung tidak mempunyai kontrol pengawasan terhadap pelaksanaan latihan kerja calon pekerja migran. Hal ini diperkuat dengan regulasi. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, misalnya, tidak memberikan mandat pengawasan dan sanksi bagi tiadanya pemberian pelatihan kerja berkualitas.
”UU itu hanya mengatur calon pekerja migran Indonesia wajib mempunyai sertifikasi kompetensi kerja dari instansi terakreditasi. Pengamatan kami menunjukkan amanat tersebut kurang dipatuhi. Kalaupun diikuti, pelaksanaannya bersifat administratif saja atau tidak benar-benar berlangsung,” tutur Savitri.
Lebih jauh, lanjut Savitri, pemerintah pun tidak rutin menerbitkan laporan evaluasi BLK luar negeri milik swasta kepada publik. Hal ini menunjukkan rendahnya pengawasan pemerintah terhadap mutu lembaga pelatihan.
Ilegal
Sebelumnya, selama April 2019, Direktorat Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri menemukan sekitar 69 calon pekerja migran Indonesia yang diduga akan diberangkatkan secara ilegal. Mereka ditemukan melalui aktivitas inspeksi mendadak di tempat penampungan.
Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) periode Januari-Maret 2019, total penempatan pekerja migran Indonesia mencapai 64.062 orang. Jumlah ini terdiri dari 23.749 orang pekerja berlatar belakang lulusan SMP, 20.857 orang lulusan SD, dan 18.636 lulusan SMA. Lalu, sebanyak 488 pekerja berijazah diploma, 325 orang bergelar sarjana, dan 7 orang berstatus pascasarjana.
Ada tiga sektor usaha menjadi sasaran utama penempatan pekerja migran Indonesia periode Januari-Maret 2019. Sektor usaha pertama adalah jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan (38.976 orang), lalu sektor industri pengolahan (11.454 orang). Sektor kedua yaitu pertanian, peternakan, kehutanan, perburuan, dan perikanan (8.453 orang).
Sepanjang 2014-2018, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah mencabut izin pendirian 97 P3MI dan menskorsing 284 P3MI. Sanksi itu diberikan karena mereka melanggar beberapa ketentuan perundang-undangan, antara lain memungut biaya penempatan secara berlebihan, memberangkatkan ke negara terlarang, dan kepada pengguna jasa tidak semestinya.
Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kemnaker Bambang Satrio Lelono menyebutkan, ada sekitar 183 BLK luar legeri yang khusus melatih calon pekerja migran Indonesia untuk tujuan penempatan kawasan Asia Pasifik. Jumlah itu sudah termasuk milik P3MI.
Ada 183 BLK luar negeri yang khusus melatih calon pekerja migran Indonesia untuk tujuan penempatan kawasan Asia Pasifik.
Dia mengemukakan, pada 2019, Kemnaker akan memberikan pelatihan kepada 10.000 calon pekerja migran di BLK luar negeri. Hanya saja, target peserta sebanyak itu terbatas bagi profesi perawat orang lanjut usia dan tata graha atau housekeeping untuk tujuan Taiwan dan Hong Kong. Dia tidak menjelaskan alasan lebih detail mengapa dua profesi itu yang menjadi sasaran.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Saiful Mashud, yang dikonfirmasi, membenarkan bahwa tidak semua dari total 444 P3MI memiliki tempat pelatihan kerja bagi pekerja rumah tangga. Ada P3MI memilih bekerja sama dengan BLK perusahaan lain atau lembaga pelatihan kerja milik perseorangan. Durasi pelatihan maksimal adalah tiga bulan.
”Ketentuan pemerintah memang tidak mengharuskan P3MI memiliki BLK. Masa pelatihan kerja memang maksimal tiga bulan. Apabila calon pekerja sudah cakap, durasi dia ikut pelatihan bisa lebih cepat dan langsung uji kompetensi,” ujarnya.
Saiful mengklaim bahwa mutu BLK luar negeri yang dimiliki P3MI ataupun perorangan diawasi oleh Kemnaker. Calon pekerja migran tidak bisa berangkat jika kualitas kompetensinya rendah. Dengan kata lain, dia tidak lulus ujian sertifikasi berstandar dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengharuskan pelatihan kerja diserahkan kepada pemerintah. Dia berpendapat, amanat itu sukar dilakukan karena negara perlu mempunyai alokasi anggaran khusus.
Ketua BNSP Kunjung Masehat belum memberikan jawaban konfirmasi ketika dihubungi.