Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur menolak pemberian status halal atau haram untuk semua destinasi pariwisata di NTT. Masyarakat dan Pemda lebih mengedepankan sikap toleransi dalam membangun pariwisata di daerah itu. Dikotomi halal atau haram merusak persaudaraan dan kerukunan antarumat beragama yang dibangun sejak ratusan tahun, lahir dari warisan tradisi.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur menolak pemberian status halal atau haram untuk semua destinasi pariwisata di NTT. Masyarakat dan Pemda lebih mengedepankan sikap toleransi dalam membangun pariwisata di daerah itu. Dikotomi halal atau haram merusak persaudaraan dan kerukunan antarumat beragama yang dibangun sejak ratusan tahun, lahir dari warisan tradisi.
Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Joseph Nae Soi di Kupang, Rabu (8/5/2019) mengatakan, sudah lama masyarakat NTT hidup saling berdampingan, tanpa membedakan suku, agama, ras dan antargolongan.
“Masyarakat NTT menjalani hidup secara alamiah, mengalir seperti air. Hati nurani menempatkan orang lain sebagai saudara, dan memberi penghormatan tinggi terhadap semua umat beragama, termasuk apa yang boleh dan tidak boleh bagi mereka. Orang NTT mengutamakan toleransi tinggi dalam hidup bersama umat beragama, termasuk dalam membangun pariwisata,” katanya.
Indonesia kata Joseph Nae Soi juga menganut paham toleransi. Toleransi dogmatis mengatakan, keyakinan seseorang tidak boleh diganggu oleh siapa pun. Hal itu termasuk saat seseorang berada di lingkungan orang lain, di situ juga ia harus bertoleransi.
Kebijakan penolakan label halal atau haram tidak ada kaitan dengan mayoritas masyarakat Kristen, tetapi suasana kehidupan masyarakat di NTT sudah serasi, seimbang, dan selaras atau disebut 3S. Penempatan label halal atau haram itu, mengubah paham 3S. Ini merupakan warisan tradisi ratusan tahun silam.
“Berikan ke NTT 3S itu bukan dikotomi halal atau haram. Mengapa repot dengan urusan yang tidak penting. Ada hal besar yang harus dikerjakan untuk membangun pariwisata di NTT bukan soal halal atau haram. Kami tolak pemahaman itu,” ujarnya.
Toleransi tinggi inilah mendorong presiden pertama Soekarno, saat dalam pembuangan di Ende, terinspirasi menelurkan gagasan Pancasila. Ia menyaksikan kerukunan dan persaudaraan hidup antara pastor, biarawan dan biarawati dengan para ulama muslim di Ende, mengalir begitu saja, tanpa ada aturan yang mengharuskan atau membatasi.
Berikan ke NTT 3S itu bukan dikotomi halal atau haram. Mengapa repot dengan urusan yang tidak penting. Ada hal besar yang harus dikerjakan untuk membangun pariwisata di NTT bukan soal halal atau haram. Kami tolak pemahaman itu
Tidak mempersoalkan
Selama ini semua wisatawan ke NTT tidak mempersoalkan halal atau haram. Masyarakat memiliki hati nurani dan tradisi, menyediakan apa yang diperlukan semua wisatawan, termasuk kebutuhan wisatawan muslim.
Kebijakan halal atau haram itu digagas oleh Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo. Konsep ini seakan menciptakan dikotomi di kalangan orang NTT yang selama ini bersatu, rukun, dan damai.
Ia mengatakan, Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah menolak dengan keras label halal atau haram itu. Semua kebijakan terkait NTT termasuk pariwisata sekalipun perlu dikoordinasikan dengan gubernur dan wakil gubernur.
Jika BOP memiliki kebijakan baru tentang pariwisata NTT harus datang ke NTT dan berbicara dengan gubernur dan wakil gubernur. Jangan mengundang gubernur atau wakil gubernur ke Jakarta karena anggaran perjalanan dinas terbatas.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia, Petrus Selestinus mengatakan, kebijakan BOP menerapkan pariwisata halal di Labuan Bajo tidak hanya memecah belah umat beragama di NTT. Labuan Bajo adalah destinasi wisata budaya bukan destinasi wisata halal.
Ia mengingatkan, pengelola BOP Labuan Bajo harus memegang teguh amanat pasal 18b ayat 2 UUD 45, di mana Negara secara tegas mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan hukum masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai prinsip NKRI. Penentuan wilayah strategis atau super strategis tetap memperhatikan aspek sosial, budaya, lingkungan alam dan searah dengan kehidupan social dan budaya masyarakat setempat.
BOP tidak berniat
Sementara itu Divisi Komunikasi Publik Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo Flores dalam keterangan pers mengatakan, tidak berniat memberi label wisata apa pun termasuk wisata halal di Labuan Bajo.
BOP berperan menjalankan fungsi koordinatif, penghubung pemerintah pusat dan daerah, pemerintah daerah dengan para stakeholders pariwisata dalam rangka mempercepat pembangunan pariwisata di Labuan Bajo, sebagai bagian dari pariwisata super prioritas Labuan Bajo Flores.
BOP Labuan Bajo Flores berkomitmen membangun pariwisata berbasis budaya dan tradisi local, selaras dengan kelestarian alam. Polemik wisata halal Labuan Bajo tidak membawa manfaat bagi pengembangan pariwisata di Labuan Bajo dan NTT.