Pertumbuhan ekonomi di Kepulauan Riau kembali melambat pada triwulan I-2019 setelah sebelumnya menunjukkan peningkatan pada 2018 untuk yang pertama kali dalam tiga tahun terakhir. Tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang kembali meningkat disinyalir menjadi penyebabnya.
Oleh
PANDU WIYOGA
·2 menit baca
BATAM, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kepulauan Riau kembali melambat pada triwulan I-2019 setelah sempat menunjukkan peningkatan pertama dalam tiga tahun terakhir pada 2018. Tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang kembali meningkat menjadi penyebabnya.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kepulauan Riau Fadjar Majardi, Kamis (23/5/2019), mengatakan, pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau pada triwulan I-2019 sebesar 4,76 persen, menurun dibandingkan pada triwulan sebelumnya yang mencapai 5,48 persen. Angka itu juga lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi nasional saat ini, yaitu 5,07 persen.
Pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau yang melambat itu sebagai imbas perlambatan ekonomi dunia. ”Perang dagang antara AS dan China pengaruhnya sangat besar di Kepuluauan Riau karena 94 persen produk domestik regional bruto (PDRB) provinsi berasal dari kegiatan ekspor,” kata Fadjar.
Ada empat kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB) di Kepulauan Riau, yaitu Batam, Tanjungpinang, Bintan, Karimun. Perekonomian provinsi sangat bergantung pada pemasukan dari industri barang ekspor dan pariwisata yang berpusat di empat wilayah KPBPB itu.
Keterikatan roda ekonomi Kepulauan Riau terhadap kondisi ekonomi global tampak pada perlambatan investasi yang tengah terjadi. Saat ini, jumlah lapangan usaha di provinsi itu ikut menyusut akibat kinerja konstruksi dan perdagangan lesu.
Perang dagang antara AS dan China pengaruhnya sangat besar di Kepuluauan Riau karena 94 persen produk domestik regional bruto (PDRB) provinsi berasal dari kegiatan ekspor. (Fadjar Majardi, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kepulauan Riau)
Sektor industri di Kepulauan Riau yang masih menunjukkan peningkatan adalah industri pengolahan minyak mentah kelapa sawit (CPO) dan industri perkapalan. Kedua sektor itu tumbuh 5,33 persen pada triwulan I-2019 berbanding 4,80 persen pada triwulan sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi di Kepulauan Riau yang lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi nasional itu menjadi sorotan. Sebagai daerah yang digadang-gadang menjadi penghasil devisa seharusnya kegiatan industri barang ekspor dan pariwisata di Kepulauan Riau menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional.
Kebijakan kurang tepat
Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati, mengatakan, sejumlah kebijakan yang kurang tepat turut memengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi di Kepulauan Riau. Salah satu contoh, pemberlakuan bebas cukai pada minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) dan industri hasil tembakau (IHT).
Rokok dan minuman beralkohol tidak masuk dalam komponen kebutuhan hidup layak bagi pekerja di kawasan KPBPB. Menurunkan harga kedua jenis barang itu juga tidak berdampak menarik bagi investor dan wisatawan.
”Seharusnya yang disubsidi barang konsumsi agar biaya hidup pekerja turun dan upah mereka tidak terlampau tinggi. Itu akan menarik pemodal untuk mendirikan usaha,” kata Enny.
Menurut dia, jika pemerintah hendak kembali mendorong kegiatan ekspor, investasi, dan wisata, hal itu bisa dilakukan dengan mengalihkan insentif fiskal ke hal lain. Misalnya, subsidi pada komponen komoditas pangan dan subsidi untuk menekan biaya transportasi.