Usaha Rintisan Dituntut Kreatif
JAKARTA, KOMPAS
Setelah melantai di bursa saham, perusahaan rintisan bidang teknologi dituntut kreatif menciptakan layanan berkualitas yang menghasilkan sumber keuntungan. Pada saat bersamaan, perusahaan harus transparan terkait pendapatan di setiap aksi pengembangan produk.
”Sebagai distributor produk digital, misalnya pulsa seluler, kami mau bekerja sama dengan semua operator telekomunikasi. Begitu pula saat kami mencoba berinovasi produk digital baru, kami terbuka bermitra dengan siapa saja,” ujar Direktur PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS) Suryandy Jahja seusai paparan publik, Senin (27/5/2019), di Jakarta.
Pada 1 November 2017, MCAS melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan harga Rp 1.385 per lembar saham. Pada penutupan perdagangan, Senin, harga saham MCAS Rp 3.560 per lembar.
Head of Investor Relations MCAS Stanley Tjiandra menambahkan, pada akhir 2017, perusahaan membukukan pendapatan Rp 2,7 triliun. Adapun pada akhir 2018, pendapatan MCAS Rp 6,3 triliun. Laba bersih yang pada 2017 sebesar Rp 8 miliar meningkat menjadi Rp 228 miliar pada 2018.
Stanley menyebutkan sejumlah cara agar perusahaan bisa mencetak keuntungan, antara lain memperkuat infrastruktur jaringan distribusi produk digital MCAS melalui kios digital dan aplikasi. Kios digital MCAS per akhir 2018 tersebar di 75.910 titik.
Cara memperkuat kemitraan juga ditempuh. MCAS bekerja sama dengan sejumlah korporasi dan pengelola layanan publik, di antaranya , Alfamart, operator telekomunikasi seluler, serta pengelola kawasan Gelora Bung Karno dan kawasan Garuda Wisnu Kencana Bali.
Suryandy menambahkan, MCAS juga mempunyai dua anak usaha yang telah jadi perusahaan terbuka. Kedua perusahaan itu adalah PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk (DIVA) yang melantai di bursa pada November 2018 dan PT NFC Indonesia Tbk.
"Kami mendorong anak usaha juga menciptakan produk yang bisa menghasilkan loyalitas pelanggan jangka panjang. Kami masih punya tiga anak usaha lagi yang tahun ini akan melantai di bursa. Salah satunya bergerak di periklanan digital," kata dia.
Terkait permodalan, Stanley mengklaim, hasil melantai di bursa saham membantu menyokong kebutuhan belanja modal. Sejak 1 November 2017 sampai sekarang, MCAS telah mengumpulkan Rp 300 miliar dan sekarang tersisa sekitar Rp 75 miliar.
"Hasil melantai di bursa saham (IPO) ditambah kas internal menutup kebutuhan belanja modal kami," tutur dia.
Sementara itu, PT Yelooo Integra Datanet Tbk atau dikenal dengan merek dagang Passpod membukukan pendapatan triwulan I-2019 sebesar Rp 9,93 miliar atau naik 285 persen dibanding setahun sebelumnya, yaitu Rp 2,58 miliar.
Pada triwulan I-2019, laba kotor Passpod mencapai Rp 4,11 miliar. Sementara setahun sebelumnya, laba kotor perusahaan sebesar Rp 1,3 miliar.
Pada triwulan pertama tahun 2019, nilai aset Passpod tercatat Rp 85 miliar. Adapun pada periode yang sama tahun 2018, nilai aset perusahaan hanya Rp 4,82 miliar.
Passpod merupakan perusahaan rintisan bidang teknologi yang fokus menyediakan kebutuhan turis selama perjalanan wisata. Passpod mempunyai tiga jenis usaha yaitu jasa perjalanan, kecerdasan buatan dan analisa data berukuran besar, serta konektivitas. Salah satu jasa yang disediakan oleh Passpod adalah penyewaan modem 4G di 70 negara.
Passpod melantai di bursa saham Indonesia pada Oktober 2018 dengan kode emiten YELO. Mengutip laporan keuangan Passpod pada triwulan I-2019, perusahaan memiliki modal dasar berupa modal saham hasil melantai di bursa sebanyak 920.000.000 saham dengan harga Rp 100 per lembar pada 31 Maret 2019 dan 2018. Dari jumlah saham itu, terdapat 380.000.000 saham ditempatkan dan 3.000 saham disetor sebagai belanja modal.
CEO Passpod Hiro Whardana mengatakan, pertumbuhan peningkatan pendapatan belum secepat harapan. Dia menduga, hal itu dipengaruhi oleh kondisi industri pariwisata pada triwulan I-2019.
"Triwulan pertama biasanya memang bukan musim turis bepergian. Kami menduga, situasi itu berdampak ke keseluruhan kinerja industri pariwisata, termasuk bisnis kami," kata dia. (MED)