JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk meninjau tarif angkutan udara yang dampaknya dirasakan oleh pelaku bisnis sektor kelautan. Kenaikan biaya kargo udara dirasakan menghambat pemasaran hasil laut dari sentra perikanan dan kelautan.
Yang dirasakan pelaku usaha sektor kelautan, biaya logistik udara naik sekitar 100-300 persen. Akibatnya, pelaku usaha hasil laut di Indonesia bagian timur sulit mengirimkan barang.
Contohnya, pengiriman kepiting asal Timika (Papua) ke Singapura melalui Jakarta melonjak 150 persen, dari Rp 16.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 40.000 per kg.
”Kenaikan tarif ini menyebabkan beberapa pelaku usaha membatalkan pengiriman hasil laut,” kata Ketua Harian Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) Mohammad Abdi Suhufan di Jakarta, Selasa (11/6/2019).
Kenaikan biaya kargo udara menyebabkan volume pengiriman hasil laut dari kawasan Indonesia bagian timur menurun. Hal ini dikhawatirkan mengganggu rantai produksi dan pemasaran. Sebab, hasil laut yang dikirim lewat udara terdiri dari berbagai macam produk, di antaranya benih serta ikan segar dan olahan.
Langkah alternatif untuk menekan biaya pengiriman sudah dilakukan antara lain dengan menggunakan jalur transportasi darat. Pengiriman benih ikan dari Sulawesi Selatan ke daerah lain yang biasanya menggunakan pesawat, sebagian telah dialihkan menjadi melalui jalur darat.
Kenaikan tarif (angkutan udara) menyebabkan beberapa pelaku usaha membatalkan pengiriman hasil laut. (Mohammad Abdi Suhufan, Ketua Harian Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia)
”Akibatnya, risiko kematian benih ikan menjadi lebih besar karena waktu pengiriman yang jauh lebih lama,” kata Abdi.
Mengganggu
Abdi mengingatkan, kenaikan biaya logistik dikhawatirkan mengganggu upaya pemerintah dalam meningkatkan ekspor hasil laut ke luar negeri. Lebih jauh lagi bisa membuat proses produksi di sentra-sentra produksi lesu karena pelaku usaha tidak mampu mengirim barang ke lokasi pembeli.
Menurut Abdi, pemerintah perlu mendorong efisiensi maskapai dan pengelola bandar udara. Langkah itu bisa diupayakan, antara lain, dengan mempertemukan pihak maskapai dan pengelola bandar udara untuk bersama-sama mengkaji komponen biaya logistik yang bisa ditekan.
Salah satu upaya efisiensi yang dapat ditempuh yaitu efisiensi biaya gudang. Tarif gudang perlu ditinjau ulang dan tidak ada lagi pungutan liar yang membebani pelaku usaha.
”Pungutan liar layanan kargo memberi beban ganda bagi pelaku usaha,” ujarnya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Indonesia Hendra Sugandhi berpendapat, persoalan tarif logistik bukan satu-satunya yang menyebabkan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) sulit berkembang.
Menurut Hendra, persoalan utama yang menghambat SKPT adalah pengembangan industri perikanan yang masih berskala industri rumahan. Akibatnya, operasional industri perikanan di Indonesia menjadi kurang efisien. (LKT)