Alokasi Dana Pungutan Ekspor CPO Belum Sejahterakan Petani
Oleh
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Alokasi dana pungutan minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil yang dihimpun Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dinilai bermasalah. Alokasi tersebut lebih banyak dimanfaatkan untuk insentif biodiesel dari pada ke petani kelapa sawit yang digunakan antara lain untuk peremajaan tanaman.
Alokasi dana pungutan ekspor crude palm oil (CPO) saat ini dinilai membuat petani kelapa sawit kesulitan meningkatkan kesejahteraannya. Jaringan Organisasi Petani Sawit Indonesia menghitung, dari total Rp 43 triliun, yang dipungut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) dari ekspor CPO selama empat tahun terakhir, petani hanya mendapatkan insentif sebesar Rp 702 miliar untuk dana penanaman kembali atau peremajaan. Nilai itu sangat kecil dibandingkan Rp alokasi dana pungutan ekspor sebesar 38,7 triliun yang diberikan kepada industri produsen biodisel.
"Ditambah lagi, industri biodiesel sampai sekarang memakai bahan baku yang bukan dari petani swadaya, tapi perkebunan mereka sendiri. Padahal, jumlah lahan yang dimiliki kita mencapai 45 persen dari total 14 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang ada," kata Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto dalam konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta, pada Jumat (28/6/2019).
Awalnya insentif dari dana pungutan ekspor (CPO), diharapkan dapat dialokasikan lebih banyak untuk petani swadaya. Terlebih, pemerintah menargetkan penggunaan biodiesel hingga 100 persen (B100), dari kadar pencampuran 20 persen biodiesel dengan solar (B20), yang dinaikkan mulai 2016.
Konferensi pers juga dihadiri perwakilan anggota Jaringan Organisasi Petani Sawit Indonesia lainnya, seperti Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Alvian Arahman, Wakil Ketua Umum Asosiasi Sawitku Masa Depanku (Samade), Pahala Sibue, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR (Aspekpir) Indonesia, Sutiyono, dan anggota Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Tanjabar Jambi, Vincentus Haryono.
Menurut aturan pemerintah, insentif yang ditarik dari pelaku industri dan pelaku usaha perkebunan kelapa sawit itu dapat digunakan kembali untuk peremajaan perkebunan, pengadaan sarana dan prasarana, dan hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit. Insentif juga diberikan untuk pengembangan sumber daya manusia, seperti melalui program pendidikan untuk keluarga petani.
Namun, selama ini, insentif yang diberikan pemerintah lebih banyak dialokasikan untuk insentif biodiesel. Pada 2018, alokasi dana untuk biodiesel mandatori 20 (B20) mencapai 85 persen. Sementara, alokasi dana untuk peremajaan perkebunan kelapa sawit hanya 2 persen. Darto mengatakan, petani berharap agar alokasi dana untuk biodiesel dikurangi.
"Kami mendukung adanya pungutan kelapa sawit untuk melanjutkan insentif bagi pelalu industri dan petani. Tapi kami ingin agar alokasi untuk biodiesel jangka terlalu besar, 40 persen saja cukup. Kami meminta porsi yang lebih banyak untuk pengembangan perkebunan petani swadaya," ujarnya.
Hilirisasi oleh petani
Wakil Ketua Umum Samade, Pahala Sibuea, mengatakan, pemerintah harus mengalokasi insentif yang lebih kepada petani agar dapat tidak hanya berhenti di hulu dengan mengandalkan pendapatan dari penjualan tandan buah segar (TBS).
Insentif lebih kepada petani, menurutnya, bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan produk bernilai tambah, seperti yang dilakukan industri pengolahan kelapa sawit di hilir.
"TBS kan bisa diolah lagi. Misal tandan kosong bisa jadi pupuk. Belum lagi, kalau CPO diolah bisa jadi biofuel. Bahkan, dengan alokasi yang tepat, petani bisa bikin pabrik kelapa sawit sendiri. Dengan demikian, petani jadi punya harapan lebih untuk pendapatan," tuturnya.
Untuk itu, Pahala berharap pemerintah mempertimbangkan kembali Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, yang pada pasal 3 ayat a mengamanatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, serta pasal 93 ayat 3, 4, dan 5 yang mengatur tentang pungutan dan pemanfaatan dana perkebunan.
Menurutnya, Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 tahun 2015 tentang Pungutan Dana Perkebunan juga perlu dikaji ulang agar mendorong petani menjadi pelaku hilirisasi, yang diwadahi kelembagaan petani dengan memanfaatkan dana pungutan ekspor kelapa sawit.
"Hal ini dapat direalisasikan karena potensi petani dengan total lahan sawit nasional sebesar 43 persen dan total produksi CPO dan palm kernel oil (PKO) nasional sebesar 36 persen, dapat memenuhi kebutuhan nasional terhadap pangan, minyak nabati maupun biodisel," ujarnya.
Harga rendah
Meski pungutan kelapa sawit disambut positif bagi para petani, sejak pertengahan Desember 2018, pemerintah meniadakan pungutan dana ekspor kelapa sawit sebesar 50 dollar AS per ton. Hal ini dikarenakan harga CPO internasional masih di bawah 570 dollar AS per ton.
Pada Juli mendatang, pemerintah juga masih akan belum melakukan pungutan dikarenakan turunnya harga referensi produk CPO untuk penetapan bea keluar periode Juli 2019 yang hanya 542,45 dollar AS per ton. Harga referensi tersebut melemah 4,72 dollar AS atau 0,86 persen dari periode Juni 2019 yang sebesar 547,17 dollar AS per ton.
Penetapan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 48 Tahun 2019 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar.
“Saat ini harga referensi CPO tetap berada pada level di bawah 570 dollar AS per ton. Untuk itu, pemerintah mengenakan bea keluar CPO sebesar nol dollar untuk periode Juli 2019,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, dalam rilis yang diterima Kompas, Jumat (28/6).
Sebaliknya, harga referensi biji kakao pada Juli 2019 sebesar 127,66 dollar AS dari bulan sebelumnya yaitu sebesar 2.327,2 dollar AS per ton. Hal ini berdampak pada peningkatan HPE biji kakao pada Juli 2019 menjadi 2.169 dollar AS per ton, atau naik 6,12 persen dari periode sebelumnya yaitu sebesar 2.044 dollar AS per ton.
Peningkatan harga referensi dan HPE biji kakao disebabkan menguatnya harga internasional. Penigkatan ini tidak berdampak pada bea keluar biji kakao yang tetap 5 persen. Sedangkan untuk HPE dan bea keluar komoditas produk kayu dan produk kulit tidak ada perubahan.
Editor:
khaerudin
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.