Tekfin Pinjaman Antar Pihak Ditargetkan Salurkan Kredit Rp 223 Triliun pada 2020
JAKARTA, KOMPAS - Total kredit yang disalurkan teknologi finansial atau tekfin peminjaman diperkirakan akan menembus Rp 223 triliun pada 2020, meningkat 214 persen dari akhir 2018.
Demikian hasil riset kantor jasa konsultan internasional Pricewaterhouse Coopers (PwC) Indonesia yang dipublikasikan, Kamis (27/6/2019).
Pesatnya laju pertumbuhan penyaluran kredit tersebut perlu dibarengi dengan edukasi keuangan dan pengetatan regulasi. Hal ini menjadi pekerjaan bersama, baik penyedia aplikasi, masyarakat pengguna, hingga pemerintah.
Hal itu disampaikan Advisory Partner PwC Indonesia, Sharly Rungkat, pada pemaparan laporan "Fintech Lending in Indonesia" PwC di Jakarta.
"Jika melihat kondisi saat ini, ada 71 sampai 74 persen pelaku usaha kecil dan menengah yang tidak memiliki akses ke penyalur kredit formal, seperti lembaga perbankan. Di sini, tekfin pinjaman antar pihak membantu mereka untuk memiliki akses kredit," ujarnya.
Kemampuan tekfin peminjaman untuk meningkatkan penetrasi akses keuangan pun sudah cukup signifikan. Jumlah kredit yang disalurkan tekfin peminjaman pada 2016 hanya mencapai sekitar Rp 300 miliar.
Dua tahun kemudian, jumlah akumulasi dari kredit yang dicairkan tekfin peminjaman mencapai Rp 23 triliun. Kemudian, pada 2020, Rp 223 triliun kredit diprediksi akan tersalurkan kepada peminjam.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Mei 2019, saat ini terdapat 113 perusahaan tekfin pinjaman dengan total kredit mencapai Rp 37 triliun. Pinjaman tersebut disalurkan kepada 25,69 juta akun peminjam dengan 456.352 entitas pemberi pinjaman.
Sementara itu, kebutuhan kredit bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) nasional mencapai Rp 1.700 triliun per tahun. Sejauh ini, lembaga keuangan formal hanya dapat memenuhi Rp 700 triliun dari kebutuhan tersebut.
Dengan demikian, Sharly mengatakan, penyaluran kredit oleh tekfin peminjaman akan sangat dibutuhkan. Pertumbuhan itu juga sejalan dengan penggunaan ponsel pintar, perkembangan infrastruktur teknologi informasi dan digital, serta pertumbuhan penggunaan tekfin peminjaman akibat kedekatan dengan platform digital lainnya.
Namun demikian, industri tekfin peminjaman masih menghadapi sejumlah tantangan yang harus diselesaikan.
"Semua pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk memastikan bahwa industri ini akan mencapai pertumbuhan masa depan yang stabil dalam ekosistem yang kondusif, dan untuk menciptakan dampak inklusi keuangan yang lebih besar bagi Indonesia," tuturnya.
Gelombang ketiga
Sharly mengatakan, industri tekfin peminjaman yang hadir sejak 2014 di Indonesia, kini sudah memasuki gelombang ketiga. Gelombang tersebut memposisikan industri tersebut pada level yang lebih baik, dengan adanya kode etik yang lebih jelas.
Selain itu, pandangan pemerintah terhadap pentingnya hukum untuk melindungi pemanfaatan tekfin peminjaman juga lebih baik. Tak hanya itu, investor juga mulai memiliki kepercayaan lebih tinggi untuk berinvestasi pada perusahaan tekfin peminjaman.
Menurut survei PwC pada April - Mei 2019, sebanyak 74 persen dari sekitar 2.700 responden peminjam menyukai fasilitas peminjaman tekfin karena cepatnya pencairan kredit. Sekitar 68 - 72 persen pengguna menyukai tekfin peminjaman karena mudahnya proses peminjaman melalui aplikasi.
Dari sisi standar keamanan dan hukum, hanya 41 persen peminjam tekfin dari kategori produktif yang mempertimbangkan pentingnya perusahaan tekfin terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pertimbangan tersebut justru tidak nampak dari peminjam berkategori konsumtif. Namun demikian, para peminjam juga mengkhawatirkan keamanan data (5,2 - 5,2 persen) dan potensi penipuan (3,58 - 9,14 persen).
Perlindungan data
Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengatakan, perlindungan data menjadi tantangan terbesar bagi perkembangan industri tekfin peminjaman saat ini.
"Pemerintah harus sadar bahwa di era industri 4.0 ke depan, perlindungan data jadi hal utama," katanya saat ditemui pada kesempatan yang sama.
Sejauh ini, menurutnya, OJK mengatur pengawasan terhadap industri tekfin dengan pendekatan Self Regulatory Organization (SRO), yaitu dengan membuat organisasi regulasi mandiri, seperti AFPI. Selain itu, OJK juga sudah memasukkan pasal perlindungan data ke dalam Peraturan OJK tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Keuangan pada 2018.
Pasal itu mengatur kewajiban perusahaan tekfin untuk melindungi data pribadi, keuangan, dan transaksi yang dikelolanya sampai data itu dimusnahkan. Namun demikian, peraturan yang lebih kuat, seperti dalam bentuk undang-undang diharapkan segera dibuat pemerintah.
"Adanya undang-undang tekfin akan membuat kepastian hukum, termasuk pelindungan data pribadi jadi terjamin. Dari situ, kemudian akan terbentuk kepercayaan," ujarnya.