RUU Pertanahan Dinilai Tidak Berpihak kepada Rakyat
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi masyarakat sipil meminta agar Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang ada saat ini ditunda pengesahannya. Perumusan RUU tersebut dinilai tidak transparan dan belum mampu menyelesaikan konflik agraria yang terjadi.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, RUU Pertanahan akan disahkan tahun ini oleh DPR RI. ”Kami khawatir RUU tersebut disahkan hanya demi memenuhi target dan tidak memandang kualitas,” kata Dewi saat dihubungi di Jakarta, Minggu (14/7/2019).
Adapun koalisi Organisasi Masyarakat Sipil terdiri atas 43 organisasi, antara lain Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Selain itu, ada Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Solidaritas Perempuan (SP), Serikat Petani Pasundan (SPP), Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan beberapa organisasi lainnya.
Mereka memandang substansi naskah RUU Pertanahan per22 Juni 2019 hasil Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan DPR RI semakin jauh dari prinsip-prinsip keadilan agraria dan ekologis bagi keberlangsungan hajat hidup rakyat Indonesia.
RUU Pertanahan belum menjamin sepenuhnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan masyarakat miskin di perdesaan serta perkotaan atas tanah serta keberlanjutan wilayah hidupnya.
RUU tersebut juga belum secara jelas dan konsisten hendak menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pengelolaan tanah serta sumber-sumber agraria lain yang timpang menjadi berkeadilan. Tidak ada rumusan tujuan reforma agraria dalam RUU Pertanahan untuk memperbaiki ketimpangan, menyelesaikan konflik agraria kronis, dan menyejahterakan rakyat.
RUU Pertanahan tidak disusun untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik agraria struktural di seluruh sektor pertanahan. Dalam 11 tahun terakhir (2007-2018) telah terjadi 2.836 kejadian konflik agraria di wilayah perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir kelautan, pulau-pulau kecil, dan akibat pembangunan infrastruktur di sekitar 7.572.431 hektar.
Ada puluhan ribu desa, kampung, pertanian, dan kebun rakyat yang masih belum dikeluarkan dari konsesi-konsesi perusahaan. Di dalam RUU ini tidak ada satu pasal pun yang dapat menyelesaikan konflik-konflik agraria tersebut.
”RUU Pertanahan juga mengandung banyak inkonsistensi dan kontradiksi antara konsiderans (pertimbangan yang menjadi dasar penetapan) dan isi,” kata Dewi.
RUU Pertanahan perlu secara matang dan hati-hati dalam merumuskan hak-hak atas tanah, yakni hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, dan hak pengelolaan.
Selama ini, hak-hak yang diterbitkan, terutama hak dan izin bagi perusahaan besar telah banyak mengakibatkan pelanggaran hak-hak warga, melahirkan ketimpangan struktur agraria, konflik agraria, kemiskinan, dan rusaknya lingkungan.
RUU Pertanahan juga tidak memiliki sensitivitas terhadap penyelesaian masalah agraria pada wilayah adat. RUU Pertanahan mengatur bahwa pengukuhan keberadaan hak wilayah dimulai dari usulan pemerintah daerah dan ditetapkan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri.
Skema seperti ini tidak menjawab persoalan yang ada selama ini, yaitu pengakuan hak wilayah sulit dilakukan karena sangat politis melalui tindakan-tindakan penetapan pemerintah dan bukan berdasarkan usulan masyarakat adat sendiri.
RUU Pertanahan belum menjawab masalah ego sektoral pertanahan di Indonesia (hutan dan non-hutan). RUU masih bias dan terbatas pada tanah dalam yurisdiksi Kementerian ATR/BPN RI, sementara masalah-masalah pertanahan bersifat lintas sektor, seperti tanah di perkebunan, tanah di kehutanan, tanah di pertanian, di wilayah pesisir kelautan, pulau-pulau kecil, perdesaan, dan perkotaan.
RUU juga mengatur kewenangan Bank Tanah secara berlebihan tanpa mempertimbangkan dampak dan tumpang tindih kewenangan antara Bank Tanah dan kementerian/lembaga. Hal tersebut berisiko terjadinya komoditisasi tanah secara absolut melalui Bank Tanah yang akan memperparah ketimpangan dan konflik.
Mereka berpandangan RUU ini lebuh kuat untuk mengakomodasi kepentingan bisnis dan investasi perkebunan skala besar. Monopoli swasta, perampasan tanah, penggusuran, termasuk impunitas bagi para pengusaha perkebunan skala besar banyak diatur dalam RUU Pertanahan. Hal tersebut tecermin dari hak pengelolaan instansi pemerintah dan rencana Bank Tanah.
Dewi mengatakan, proses pembahasan RUU Pertanahan tidak transparan. Pada 2018, organisasi masyarakat sipil telah melihat rancangannya. Banyak hal positif dalam rancangan tersebut. Namun, rancangan tersebut berubah drastis saat dilihat pada 2019.
RUU Pertanahan menjadi sangat penting karena berfungsi untuk melengkapi dan menyempurnakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960). UU tersebut bertujuan menghapus UU Agraria Kolonial Belanda dan memastikan agar bumi, tanah, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya diatur negara sebagai kekuasaan tertinggi rakyat.
Penguasaan tanah, pemilikan, penggunaan, dan pemeliharaannya ditujukan bagi kemakmuran rakyat sehingga penggunaan tanah yang melampaui batas dan monopoli swasta tidak diperkenankan. Keadilan sosial, kesejahteraan manusianya, dan keberlanjutan sumber-sumber agraria menjadi prinsip utama.