Peningkatan Ekspor Manufaktur dan Pariwisata untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
Peningkatan ekspor manufaktur, pariwisata, investasi langsung, produksi dalam negeri, dan pengurangan impor, didorong untuk menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Indonesia tidak bisa lagi hanya mengandalkan ekspor komoditas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS – Peningkatan ekspor manufaktur, pariwisata, investasi langsung, produksi dalam negeri, dan pengurangan impor, didorong untuk menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Indonesia tidak bisa lagi hanya mengandalkan ekspor komoditas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo menyampaikan hal tersebut dalam diskusi bersama wartawan di Medan, Sumatera Utara, Jumat (19/7/2019). “Harus ada penguatan struktur ekonomi nasional untuk mendorong hilirisasi industri pengolahan sumber daya alam,” katanya.
Dody mengatakan, perjalanan ekonomi selama tahun 2018 memberikan pelajaran penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Struktur ekonomi nasional harus dikuatkan di tengah kondisi ekonomi global yang tidak kundusif.
Harus ada penguatan struktur ekonomi nasional untuk mendorong hilirisasi industri pengolahan sumber daya alam
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke level yang lebih tinggi, kata Dody, perlu didorong industri manufaktur khususnya di bidang otomotif, elektronika, tekstil, dan alas kaki. Apalagi pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini diperkirakan berada di bawah titik tengah kisaran 5,0 – 5,4 persen. Angka itu diperkirakan hampir sama dengan tahun lalu yakni 5,17 persen.
Dody mengatakan, stabilitas dan ketahanan perekonomian perlu terus diperkuat dengan menjaga inflasi tetap rendah, nilai tukar rupiah stabil, defisit fiskal rendah, dan stabilitas sistem keuangan terjaga. “Defisit transaksi berjalan juga harus diturunkan dan dikendalikan ke batas aman,” katanya.
Sinergi kebijakan
Sinergi kebijakan antar otoritas, menurut dia menjadi kunci untuk memperkuat struktur ekonomi nasional. Kebijakan moneter, fiskal, dan sektor keuangan harus disinergikan untuk menjaga stabilitas makro dan keuangan.
Memperkuat struktur ekonomi nasional, menurut Dody, merupakan salah satu cara menghadapi risiko eksternal. Perekonomian nasional masih akan menghadapi ekonomi global yang tumbuh melambat, volume perdagangan dunia yang melambat, harga komoditas yang menurun, perang dagang Amerika Serikat dengan China, dan ketidakpastian Brexit.
Ekonom Senior Centre of Reform on Economics Indonesia Hendri Saparini mengatakan, jika pertumbuhan ekonomi terus tertahan di kisaran 5 persen, Indonesia akan masuk dalam jebakan kelas menengah. Indonesia sudah 23 tahun berada di kelompok pendapatan menengah-bawah dan sangat sulit untuk naik kelas.
“Untuk keluar dari kelompok pendapatan menengah-bawah, pertumbuhan ekonomi setidaknya harus didorong minimal 7 persen per tahun dan bertahan selama beberapa dekade,” katanya.
Akselerasi pertumbuhan ekonomi pun harus didorong sesegera mungkin pada saat Indonesia menikmati bonus demografi.
Untuk keluar dari kelompok pendapatan menengah-bawah, pertumbuhan ekonomi setidaknya harus didorong minimal 7 persen per tahun dan bertahan selama beberapa dekade
Ketimpangan ekonomi antar wilayah, kata Hendri, harus terus dikikis. Saat ini, distribusi produk domestik regional bruto (PDRB) Pulau Jawa terhadap PDB nasional mencapai 59 persen. Dalam kurun waktu 18 tahun terakhir, distribusi itu hanya berkurang satu persen.
Setelah Jawa, distribusi PDRB paling besar yakni Sumatera sebesar 21 persen, Kalimantan 8 persen, Sulawesi 6 persen, Bali dan Nusa Tenggara 3 persen, serta Maluku dan Papua 3 persen.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sumatera Utara Wiwiek Sisto Widayat mengatakan, ekonomi daerah menjadi penopang perekonomian nasional. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara diperkirakan berkisar 5,0-5,5 persen. Namun, inflasi Sumut diperkirakan mencapai 5,1 – 5,3 persen. Kontributor utama inflasi adalah bahan pangan, khususnya cabai merah.