Pasar properti di Bali berubah dalam dua tahun terakhir. Kebutuhan perumahan mendominasi sekitar 80 persen ketimbang pasar investasi. Permintaan perumahan dengan harga terjangkau dan pelunasan melalui cicilan perbankan makin diminati.
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Pasar properti di Bali berubah dalam dua tahun terakhir. Kebutuhan perumahan mendominasi sekitar 80 persen ketimbang pasar investasi. Permintaan perumahan dengan harga terjangkau dan pelunasan melalui cicilan perbankan makin diminati. Cicilan rumah sekitar Rp 3 juta per bulan menjadikan efek domino bagi pasar properti dengan harga ratusan juta rupiah.
Kasus di Bali, pergeseran ini diduga salah satu efek dari program perumahan subsidi yang dibangun di sekitar Kabupaten Buleleng (Bali bagian utara) dengan harga sekitar Rp 158 juta per unit dan luas tanah 60 meter persegi. Sejumlah pengembang pun memilih menurunkan harga pasaran rumah seharga Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar.
Ketua Real Estat Indonesia Bali Pande Agus Widura menuturkan, pangsa pasar properti di Bali ini masih menarik. ”Hanya pangsa pasar kebutuhan perumahan yang lebih mendominasi ketimbang properti investasi,” ucapnya.
Hanya pangsa pasar kebutuhan perumahan yang lebih mendominasi ketimbang properti investasi.
Namun, permintaan untuk pemenuhan properti perumahan berbasis kebutuhan itu masih sulit dipenuhi oleh para developer di Bali. Peraturan yang belum memperbolehkan pembangun perumahan seperti apartemen atau kondominium menjadi kendala karena tidak sesuai kesepakatan terkait ketinggian gedung yang tidak bisa lebih dari 15 meter.
Berdasarkan laporan survei Kantor Perwakilan Bank Indonesia Bali, jumlah ketersediaan ruang ritel sewa bertambah dari tahun 2018 sebanyak 237.009 meter persegi menjadi 255.700 meter persegi di triwulan II-2019. Pertambahan drastis justru terjadi pada perkantoran, mencapai 7.459 meter persegi di triwulan II-2019.
Pasar ritel sewa didominasi bidang makanan, hiburan, serta produk pakaian jadi. Pasar perkantoran didominasi bidang jasa, konsultan, serta sektor IT.
Level terbatas
Hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Primer Kantor Perwakilan Bank Indonesia Bali pada triwulan II-2019 menunjukkan, harga properti residensial primer di Kota Denpasar masih mengalami pertumbuhan pada level terbatas. Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) pada triwulan II-2019 tercatat 185,92, sedikit lebih tinggi dibandingkan triwulan lalu (185,87) dan periode yang sama tahun sebelumnya (185,44).
Kondisi stagnan ini diperkirakan masih berlanjut di triwulan III-2019 dengan pertumbuhan masih sekitar 1 persen. Berdasarkan tipe rumah, pertumbuhan kuartalan tertinggi tercatat pada rumah tipe menengah, yang tercatat tumbuh 0,50 persen (year on year/yoy) pada triwulan II-2019 dan diperkirakan tumbuh sebesar 1,78 persen (yoy).
Adapun pertumbuhan pada rumah tipe kecil pada triwulan II-2019 tercatat sedikit meningkat dibandingkan periode sebelumnya. Secara triwulanan, IHPR rumah tipe kecil tumbuh sebesar 0,28 persen (yoy). Pada triwulan III-2019, IHPR diperkirakan sebesar 193,86 atau tumbuh 1,13 persen (yoy).
Seperti halnya penjelasan REI Bali, rumah tipe besar pada triwulan II-2019 tercatat stagnan dibandingkan periode sebelumnya. IHPR rumah tipe besar belum mengalami pertumbuhan yang berarti, masih sekitar 0,93 persen (yoy).
Mengenai sumber pembiayaan, pengembang masih mengandalkan dana pinjaman dari bank sebagai sumber pembiayaan pembangunan properti residensial. Dari sisi pembiayaan, hasil survei menunjukkan, sumber pembiayaan dari pinjaman bank masih mendominasi 85 persen, diikuti dengan pembiayaan menggunakan dana internal sendiri 11 persen dan pembiayaan dari lembaga keuangan nonbank 4 persen.
Jika didiskon, pembelinya ada. Jadi, memang pangsa pasar properti di Bali masih menarik, tetapi harganya terlalu tinggi.
Chairman Lestari Group Alex P Chandra membenarkan kondisi tersebut. Pada kondisi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Lestari, jaminan dari kredit macet properti terpaksa dilelang dengan harga diskon sekitar 30 persen. ”Jika didiskon, pembelinya ada. Jadi, memang pangsa pasar properti di Bali masih menarik, tetapi harganya terlalu tinggi,” kata Alex.
Karena itu, ia tetap berhati-hati memberikan kredit hingga saat ini sejak kondisi lesu lebih dari dua tahun terakhir. Alex tidak dapat memprediksi sampai kapan kondisi ini dapat pulih maksimal.