Fabrikasi produk-produk konstruksi akan semakin berkembang di dunia konstruksi Indonesia. Perkembangan itu sejalan dengan tuntutan kualitas produk dan kepastian waktu penyelesaian agar lebih terjamin.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fabrikasi produk-produk konstruksi akan semakin berkembang di dunia konstruksi Indonesia. Perkembangan itu sejalan dengan tuntutan kualitas produk dan kepastian waktu penyelesaian agar lebih terjamin.
Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin, Kamis (25/7/2019), di Jakarta, mengatakan, perkembangan dunia konstruksi di Indonesia makin menuntut kecepatan dengan biaya yang kompetitif. Sementara pembangunan infrastruktur jadi lebih rumit terkait lokasi pembangunan di perkotaan yang padat penduduk.
Sebagai contoh, saat ini sebagian besar proyek infrastruktur, seperti jalan, rel kereta, jembatan, merupakan konstruksi layang. Agar proses pembangunan berjalan lancar dengan seminimal mungkin gangguan pada masyarakat, sebagian konstruksi dikerjakan di luar lokasi proyek.
”Dengan demikian, proses konstruksi akan lebih cepat karena berjalan beriringan. Selain itu, kontrol terhadap kualitas produk konstruksi akan lebih terjamin karena pasti ada uji atau tes kekuatan di lokasi pembuatan,” kata Syarif.
Proses fabrikasi produk konstruksi juga berdampak positif dengan makin berkembangnya industri di dalamnya, semisal industri pracetak berkembang menjadi industri dengan produk yang beragam. Demikian pula penyedia jasa konstruksi dituntut untuk mengadopsi teknologi agar dapat mengimbangi hal itu.
Meski demikian, kata Syarif, saat ini rantai pasok produk untuk mendukung konstruksi belum terbangun sepenuhnya. Masih ada daerah terpencil atau terluar yang kesulitan dalam mengakses material bangunan, seperti semen atau baja. Yang relatif sudah tercukupi untuk seluruh wilayah Indonesia adalah material batu gunung.
Sementara itu, Direktur Utama PT Waskita Karya Infrastruktur Gunadi Soekardjo berpandangan, fabrikasi produk konstruksi bergantung pada kondisi setempat. Seperti di Singapura, panel beton pracetak untuk bangunan berkembang pesat untuk mempercepat pembangunan karena tenaga kerja terbatas.
Demikian pula di Indonesia, untuk beberapa konstruksi, seperti menara listrik dan jembatan besar, sudah difabrikasi di lokasi lain. Di tempat kerja yang dilakukan hanya pemasangan.
”Yang membedakan adalah proses instalasi dan kebutuhan tenaga kerja. Kalau di pabrik itu lebih presisi meski tidak semua bisa dilakukan di pabrik. Namun, untuk pekerjaan seperti membangun fondasi tetap dilakukan di lapangan,” kata Gunadi.
Teknologi konstruksi layang atau bawah tanah bukanlah teknologi yang baru. Namun, yang membedakan saat ini adalah digitalisasi dalam pelaksanaan konstruksi melalui building information modelling. Perencanaan proyek dapat dimodelkan terlebih dahulu sehingga sedari awal kebutuhan material dapat diketahui secara akurat. Dengan demikian, kebutuhan pendanaan dapat direncanakan dengan lebih tepat.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Perusahaan Pracetak dan Prategang Indonesia (AP3I) Wilfred A Singkali mengatakan, dengan fabrikasi, terdapat jaminan terkait standar kualitas produk konstruksi dan waktu penyelesaian. Selain itu, produk konstruksi juga semakin beragam.
Meski demikian, saat ini yang menjadi pembicaraan adalah biaya angkut dari lokasi fabrikasi ke tempat proyek konstruksi dianggap menjadi beban tambahan. ”Padahal, dengan fabrikasi, kontraktor dapat lebih fokus memikirkan pelaksanaan proyek di lapangan,” kata Wilfred.
Untuk produk beton pracetak, lanjut Wilfred, total kapasitas produsen yang tergabung di AP3I sebesar 36,4 juta ton dalam setahun. Dari jumlah itu, yang terpakai baru 70 persen. Dengan demikian, kebutuhan beton pracetak di Indonesia masih dapat dipenuhi dari dalam negeri. Dari total kapasitas, sekitar 60 persen diproduksi oleh badan usaha milik negara.